Search

Kamis, 23 September 2010

Tentang Kabupaten Lingga

Kabupaten LinggaPDFCetakE-mail
Kondisi Umum
Kabupaten Lingga merupakan kabupaten termuda di Provinsi Kepulauan Riau setelah lepas dari Kabupaten Kepulauan Riau sejak Mei 2004. Beribukotakan Daik namun lebih dikenal dengan sebutan “Negeri Segantang Lada”. Daerah ini terdiri dari tiga gugusan pulau besar, yang sering disebut dengan istilah selingsing (Senayang, Lingga dan Singkep).
Kabupaten Lingga memiliki sebaran terumbu karang yang hampir merata di setiap pulaunya dengan perkiraan total hamparan mencapai sekitar 15.178 Ha. Oleh karenanya, 85% penduduk Pulau Senayang dan Lingga menggantungkan hidupnya pada terumbu karang baik secara langsung maupun tidak. Untuk itu, perlu suatu pengelolaan ekosistem dalam pemanfaatan sumberdaya yang berkelanjutan.
Karena perannya tersebut, Pulau Senayang dan Lingga ketika msih berada di Kabupaten Kepulauan Riau ditetapkan sebagai Kawasan Konservasi Laut Daerah melalui SK Bupati Kepulauan Riau No. 71/III/2002 tentang Penetapan Wilayah Pengelolaan Terumbu Karang.

Letak Geografis
Secara geografis, KKLD Senayang dan Lingga berada diantara 103041’03,37” - 105017’04,15” LU dan 0030’07,21” - 3052’28,41” BT.sementara secara administratif, kabupaten ini berbatasan dengan Kecamatan Galang, Kota Batam dan Laut Cina Selatan di sebelah utara, sebelah timur dengan Lau Cina Selatan, sebelah selatan dengan Laut Bangka dan Selat Berhala, dan sebelah barat dengan Laut Indragiri.

Aksesibilitas
Tidak sulit untuk mengunjungi Kabupaten Lingga karena transportasi laut telah cukup memadai, dimana banyak perusahaan pelayaran swasta yang mengoperasikan ferry penumpamg. Pelayaran dengan kapal penyeberangan (ferry) dari Pelabuhan Tanjung Pinang di Pulau Bintan ke Pulau Singkep hanya memakan waktu selama 3 jam. Selanjutnya untuk pergi ke Diak sebagai ibu kota kabupaten, harus berganti kapal dan menambah 1 jam lagi pelayaran.

Iklim
Senayang dan Lingga dipengaruhi oleh empat musim lokal, yaitu musim utara, selatan, timur dan barat. Musim utara paling berpengaruh baik terhadap lingkungan maupun dampaknya kepada kehidupan manusia. Klimatologi pada umumnya beriklim basah dengan curah hujan per tahun rata-rata sekitar 2.214 mm dengan jumlah hari hujan sebanyak 110. Temperatur terendah 220C dan tertinggi 320C dengan kelembaban udara 85%.

Kondisi Perairan
Perairan di sekitar wilayah Senayang dan Lingga umumnya mempunyai kedalaman yang relative dangkal yaitu sekitar 40 m dengan dasar lumpur berpasir dan berkarang. Salinitas perairan daerah ini antara 28%-35%. Kecepatan arus dan perbedaan pasang surut tidak sebesar di Selat Malaka. Perairan daerah ini dipengaruhi oleh massa air yang datang dari Laut Cina Selatan dan Laut Jawa.

Kondisi Ekosistem Perairan
Spesies-spesies bakau yang paling dominan dijumpai adalah Rhizophora apiculata, Sonneratia alba, Avicennia marina, Bruguiera gymnorrhiza, Aegiceras corniculatum, dan Pempis acidula. Di dalam ekosistem hutan bakau hidup berbagai fauna seperti kera, buaya, ular bakau, dan beragam burung.
Di kawasan perairan ditemukan keanekaragaman jenis karang yang cukup tinggi terutama dari genus Acropora. Jenis karang yang ditemukan adalah coral submassiveAcropora tabulateAcropora branching, Acropora digitata, dan coral mushroom.
Jenis ikan yang banyak ditemukan di perairan adalah tenggiri, cakalang, sunu, kerapu, hiu, selar, dan lain-lain. Ikan hias menjadi favorit untuk diekspor adalah ikan ekor kuning (Caesio sp).
Lumba-lumba dan duyung adalah jenis mamalia yang masih bisa dijumpai di sekitar Kepulauan Riau. Kehadirannya dianggap suatu hal yang menggembirakan karena bisa menjdi hiburan dan tontonan sehari-hari. Lumba-lumba yang sering dijumpai adalah lumba-lumba hidung botol (Bottle-nose Dolphin).
Biota lain yang sering dijumpai adalah kima, gurita, sotong dan kuda laut.

Kondisi Sosial Ekonomi dan Budaya
Jumlah penduduk pada tahun 2001 di lima desa Kecamatan Senayang sebanyak 3.454 iwa, dan di dua desa Kecamatan Lingga sebanyak 1.917 jiwa. Kegiatan ekonomi Kabupaten Lingga ditopang oleh hasil perikanan yang menyumbangkan 46%. Oleh karenanya sangat wajar, bila industri perkapalan tradisional (pompong) cukup tumbuh dengan baik. Pengrajin telah menggunakan peralatan semi modern dengan teknologi pembuatan secara turun temurun.
Beberapa etnis yang tinggal di daerah ini adalah suku Melayu, Cina, Flores, Buton, Minang, dan Bugis. Etnis terbesar adalah Melayu, dengan agama Islam yang kuat.

Mata Pencaharian
Penduduk di Pulau Lingga umumnya hidup dari bercocok tanam terutama perkebunan, seperti karet, kelapa, lada, cengkeh, kopi, coklat, dan sagu. Sementara penduduk Pulau Senayang, mayoritas bekerja sebagai nelayan. Berbeda den gan Pulau Lingga dan Senayang, penduduk Pulau Singkep akan bekerja sebagai pendulang emas hitam ketika karet tidak bisa lagi disadap atau laut sedang sulit dilayari.

Potensi Perikanan
Potensi perikanan yang cukup tinggi dapat dilihat dari teridentifikasinya jenis ikan ekonomis yang ditangkap nelayan seperti ikan tenggiri, sunu, kerapu, selar, dan lain-lain. Kegiatan perikanan lainnya adalah budidaya, yang dilakukan sebagai kegiatan sampingan nelayan bubu. Adapun kegiatan budidayanya adalah karamba dan rumput laut.
Budidaya karamba lebih cenderung pada penangkaran hasil tangkap bubu yang belum cukup ukuran. Jenis ikan yang menjadi primadona untuk dibesarkan anata lain ikan sunu, ketarap, dan gelam.
Beberapa jenis ikan hias yang terdapat di Kepulauan Riau menjadi komoditas ekspor yang cukup potensial untuk mendongkrak perekonomian masyarakat. Caesio sp, Caranx sp, Ephinephelus sp, Amphiprion sp adalah jenis-jenis ikan hias yang sangat populer di kalangan masyarakat nelayan, akan tetapi bagi mereka Caesio sp lebih favorit untuk diekspor.

Pendekatan Konservasi
Pendekatakan konservasi dalam penetapan kawasan konservasi adalah sebaran terumbu karang yang hampir merata di setiap pulaunya dengan perkiraan total hamparan mencapai sekitar 15.178 Ha. Luasnya hamparan terumbu karang tersebut mempunyai andil besar dalam mendukung kehidupan berbagai jenis biota laut ekonomis penting.

Pariwisata
Kabupaten Lingga memiliki banyak lokasi yang potensial untuk dikembangkan sebagai objek wisata, diantaranya adalah:
Pulau Kapal, dengan pasir putih dan penyu sisiknya.
Selat Kongko dan Kongki, dengan hutan mangrove dan buayanya.
Terumbu Cawan, dengan karang dan burung camarnya.
Ulu Temiang, dengan sungainya yang berliku-liku dan berhutan bakau lebat di kiri dan kanan serta memberikan pengalaman yang menakjubkan bagi wisatawan. Sebagai tujuan akhir dari petualangan menesuluri Sungai Ulu kita akan menikmati “Mangrove Track” dengan kendaraan pompongdan akan sampai di perkampungan yang damai dengan buah khasnya, yaitu durian.
Gunung Diak, merupakan gunung yang cukup terkenal di Lingga dengan puncaknya yang bercabang dua dan sering merupakan pusat budaya Melayu pada saatnya dan juga sebagai ibukota Kecamatan Lingga.
Pulau Benan, memiliki goa dan benteng peningggalan Jepang yang terletak di bukit pulau tersebut yang dapat dijadikan daya tarik wisata sejarah. Di pulau ini juga hidup beribu-ribu kelelawar, yang akan memberikan pemandangan menakjubkan pada saat mereka pulang di sore hari.
Klenteng Tua, terdapat di Centeng dan Sambau Desa Limbung merupakan tempat yang selalu dikunjungi oleh para pendatang dari luar Desa Limbung pada saat hari raya Tionghoa setiap tahunnya.
Untuk Wisata Bahari, Senayang-Lingga memiliki lokasi penyelaman seperti Pulau Mamut, Pulau Perangoi, Pulau Enan, Pulau Katang, dan beberapa pulau lainnya.
Wisata Sejarah, sebagai pusat Kerajaan Melayu, wilayah Kepulauan Riau banyak meninggalkan situs sejarah yang layak untuk dijadikan kawasan wisata sejarah, Pulau Lingga dengan luas sekitar 8.268,7 km2  memiliki situs sejarah terbanyak dan dapat dijadikan sebagai kawasan wisata sejarah.

Minggu, 19 September 2010

Sejarah. Benteng Kerajaan Riau Lingga

Karya Tulis Para Peneliti Balai Arkeologi Medan

Just another WordPress.com weblog

BENTENG TANAH DI PULAU LINGGA

Repelita Wahyu Oetomo
Balai Arkeologi Medan
Kerajaan Lingga telah dikenal sebagai salah satu kerajaan Melayu pada abad ke-16. Pada masa itu kerajaan-kerajaan di Semenanjung Malaka disibukkan dengan dominasi Portugis di jalur perdagangan tersebut. Beberapa kali terjadi perlawanan dari kerajaan pribumi, walaupun akhirnya dapat dipatahkan. Keberadaan Portugis berakhir seiring dengan kedatangan Belanda. Namun hal ini tidak menjadikan keadaan lebih baik, ditambah lagi dengan datangnya Inggris. Perebutan pengaruh antara Belanda dan Inggris terhadap Selat Malaka turut memperkeruh keadaan sehingga mengakibatkan pecahnya kerajaan-kerajaan Melayu. Tidak banyak yang dapat dilakukan kerajaan-kerajan Melayu dalam penentuan kebijakan ekonomi perdagangan pada masa itu akibat politik adu domba yang diterapkan oleh Belanda. Hal inilah yang perlahan-lahan menggerogoti perekonomian kerajaan sehingga akhirnya mengakibatkan keruntuhannya.
Tingginya tingkat konflik di Selat Malaka, mengakibatkan kerajaan-kerajaan harus melengkapi keberadaanya dengan berbagai sistem pertahanan. Sistem pertahanan keamanan yang diterapkan oleh Kerajaan Lingga diantaranya adalah membangun pos-pos pertahanan, yang sampai saat ini masih dapat kita jumpai yaitu berupa tanggul-tanggul tanah yang dilengkapi dengan beberapa meriam untuk menjaga akses masuk ke kerajaan. Tanggul-tanggul tanah itu diantaranya adalah di Pulau Mepar, Bukit Cening, Kuala Daik dan tanggul tanah yang terdapat di Pabean.
Kota Kerajaan Lingga berpusat di Daik, yang saat ini merupakan ibukota Kecamatan Lingga, termasuk dalam wilayah Kabupaten Kepulauan Riau, Propinsi Riau. Secara astronomis Kelurahan Daik-Lingga terletak antara 00 13’ — 00 14’ LS dan 1040 36’ — 1040 41 BT (Rencana Kota Daik, 1991). Sampai saat ini tinggalan arkeologis di bekas Kerajaan Lingga cukup lengkap, diantaranya adalah beberapa bangunan monumental, seperti; mesjid, makam, bekas istana, benteng-benteng pertahanan, dan tinggalan artefaktual lainnya. Dalam tulisan ini akan dibahas mengenai beberapa bangunan tanah yang merupakan pos-pos pertahanan sebagai bagian dari suatu sistem pertahanan di Kerajaan Lingga.

Peta situasi Pulau Lingga, Kec. Lingga, Kab. Kepulauan Riau
1. Benteng Tanah Bukit Cening         
Benteng tanah ini berjarak sekitar 3 km sebelah selatan ibukota Kecamatan Lingga, tepatnya di Kampung Seranggo, Kelurahan Daik. Pada jarak satu kilometer terakhir menuju benteng, merupakan jalan setapak yang hanya dapat dicapai dengan jalan kaki. Benteng ini dibangun di atas bukit, menghadap ke tenggara, dengan pintu masuk berada di sebelah utara. Bagian selatan benteng ini adalah tebing yang menghadap ke Selat Kolombok, sebelah utara tampak Gunung Daik dan Sepincan, baratdaya tampak Pulau Mepar, sedangkan sebelah barat-baratlaut merupakan daratan dan lokasi istana Sultan Lingga. Benteng ini merupakan bangunan tanah yang dibangun dengan meninggikan dan mengeraskan tanah, menyerupai tanggul, berdenah persegi empat, berukuran 32 m X 30 m, tebal sekitar 4 meter dengan ketinggian mencapai 1 – 1,5 m. Disebelah kiri, kanan dan depan benteng ini terdapat parit yang sebagian telah tertutup tanah. Melalui benteng ini pandangan bebas mengawasi daerah sekelilingnya.
Di dalam benteng ini terdapat sebanyak 19 buah meriam yang diletakkan berjajar di sisi selatan. Meriam-meriam di benteng ini dapat diklasifikasikan sebagai meriam berukuran sedang dan besar, dengan ukuran panjang antara 2 — 2,80 meter. Lubang laras berdiameter 8 — 12 cm. Pada meriam-meriam tersebut terdapat pertulisan yang terletak di bagian pangkal atau pada pengaitnya, sebagian dalam keadaan aus. Angka-angka tahun yang terdapat pada meriam itu adalah 1783 dan 1797, sedangkan tanda-tanda lain meliputi huruf P. HB. X. O. F. dan VOC.
2. Benteng Tanah Kuala Daik
Terletak di tepi muara Sungai Daik, sekitar 2 km dari Kampung Cina. Untuk mencapai lokasi ini dapat ditempuh dengan menggunakan sampan. Masyarakat menyebut tempat ini sebagai Tanjung Meriam, karena menurut informasi, di tempat tersebut dulu banyak ditemukan meriam. Sisa bangunan yang ada saat ini hanyalah susunan batu yang menjorok ke laut. Keletakan benteng ini sangat strategis, yaitu berada di pintu masuk ke pusat kota yang dapat dilalui dengan menggunakan kapal. Kerusakan benteng tersebut kemungkinan akibat gerusan air laut yang semakin tinggi pada saat pasang, akibat pengendapan Lumpur pada muara Sungai Daik.
3. Benteng Tanah di Pabean
Benteng tanah ini terletak di pusat Kota Kecamatan Lingga, di sebelah utara Kantor Kecamatan Lingga dan tidak jauh dari arah aliran Sungai Daik. Kondisinya saat ini tidak beraturan, hampir rata dengan tanah akibat aktivitas penduduk disekitarnya. Lebar bangunan tanah saat ini mencapai 4 – 6 meter, dengan tinggi tidak lebih dari 1 meter. Berdasarkan sisa bangunan yang ada, benteng tersebut memanjang dari arah timur–barat. Bagian tengah benteng terputus, karena tepat pada bangunan ini digunakan sebagai pintu masuk ke halaman rumah penduduk. Menurut masyarakat, tempat ini merupakan Pabean pada masa lalu, tepatnya berada disekitar belokan aliran Sungai Daik. Pengamatan di lapangan menunjukkan di tempat tersebut permukaan tanahnya lebih rendah dan kondisinya berair. Di sekitarnya banyak ditemukan meriam yang saat ini diletakkan di alun-alun. Dua buah meriam yang terdapat di depan Mess Kecamatan memiliki keistimewaan, berbahan tembaga, berukuran panjang 3,35 m. Di bagian atas terdapat hiasan dan pertulisan / 8 / – O.
4. Benteng Tanah di Pulau Mepar    
Secara administratif Pulau Mepar termasuk dalam wilayah Desa Mepar, Kecamatan Lingga, berjarak sekitar 1 km dari Tanjung Butun. Untuk mencapai pulau ini ditempuh dengan menggunakan sampan dengan waktu tempuh sekitar 15 menit. Pulau tersebut saat ini dimanfaatkan masyarakat sebagai pemukiman dengan pusat aktivitasnya di sekitar dermaga. Di Pulau ini terdapat 5 buah bangunan tanah dan beberapa buah meriam yang saat ini terletak di sekitar perkampungan penduduk.
Tiga buah bangunan benteng terletak di selatan pulau, satu di sebelah barat, dan sisanya berada di utara (lihat gambar). Benteng I terletak di atas bukit, sebelah tenggara pulau. Benteng tersebut dibangun dari tanah yang dikeraskan, terlihat dari susunan tanah dan kerikil. Benteng tanah ini berukuran 25 m X 23 m, tebal dinding antara 2,5 – 3 meter dan tinggi antara 1 – 1,5 meter. Benteng ini dikelilingi oleh parit yang cukup dalam, di bagian pintu masuknya terdapat saluran yang kemungkinan digunakan untuk mengeluarkan air dari dalam benteng. Benteng I menghadap ke baratlaut, di sudut timurlaut dan utara terdapat kelebihan tanah (tonjolan) berukuran 2 – 3 meter, menyerupai bastion. Benteng terletak di tempat lebih tinggi, sehingga memudahkan pengawasan daerah sekitarnya. Melalui benteng I ini dapat diawasi Pulau Lingga yang berada di sebelah utaranya, dan Pulau Kolombok di sebelah selatan.
Benteng II dalam kondisi rusak, berdenah persegi empat, berjarak sekitar 5 meter dari garis pantai dan berada pada ketinggian 3 meter diatas permukaan laut. Benteng seluas sekitar 300 m2 ini, terletak di sebelah selatan pulau. Melalui benteng ini tampak Pulau Kolombok yang berada di sebelah selatannya.
Benteng III terletak di Kampung Hulu, berjarak sekitar 200 meter di sebelah baratdaya benteng II. Bangunan ini berjarak sekitar 20 meter dari garis pantai, dengan ketinggian sekitar 6 meter diatas permukaan laut. Bangunan ini berbentuk segitiga dengan luas sekitar 150 m2. Benteng IV terletak di kampung yang sama dengan benteng III, dengan jarak sekitar 200 meter dari benteng III. Benteng ini berbentuk persegi empat berukuran luas sekitar 300 m2, sedangkan benteng V terletak di kampung yang sama, berjarak sekitar 200 meter dari benteng IV, berbentuk persegi empat. Kondisi benteng-benteng tersebut saat ini rusak dan dipenuhi dengan tanaman liar.      
                                                                                                                                                                                      
5. Sistem Pertahanan di Kerajaan Lingga
Berdasarkan sumber-sumber tertulis Cina abad ke-15, disebut Pulau Lingga adalah karena gugusan gunung-gunung tampak menyerupai gigi naga (dragon teeth). Munculnya kata Ling kemungkinan berawal saat perantau Cina menginjakkan kakinya di Daik, mereka melihat gunung Daik yang bentuknya menyerupai gigi naga. Kemungkinan kedua adalah berhubungan dengan nama Kerajaan Kalingga yang berada di pantai timur India. Adapun kemungkinan ketiga adalah berkaitan dengan puncak Gunung Daik yang menyerupai phallus (alat kelamin laki-laki), yang dalam agama Hindu merupakan simbol Dewa Siwa (Groeneveldt, 1960).
Pulau Lingga terletak pada jalur perdagangan yang ramai. Dibandingkan dengan pulau-pulau lain keberadaan Pulau Lingga lebih menonjol, karena dari jarak yang cukup jauh tampak Gunung Daik. Hal ini memudahkan bagi para pedagang antar pulau yang menggunakannya sebagai sarana navigasi untuk mencapai pusat kota kerajaan. Pelaut menggunakan Gunung Daik sebagai orientasi, karena tepat pada titik 00 jarum kompas, akan dijumpai Muara sungai yang lurus dengan gunung Daik. Dengan mengikuti arah aliran Sungai Daik maka sampailah ke pusat kota Kerajaan Lingga. 
Bentuk dan ukuran benteng tanah di Kerajaan Lingga tidak sebesar atau seluas bangunan benteng yang banyak kita jumpai. Benteng tanah ini lebih tepat disebut sebagai pos-pos pertahanan. Pertahanan keamanan lebih banyak didukung oleh pos-pos, yang merupakan bagian dari suatu sistem pertahanan keamanan pada waktu itu. Pos-pos keamanan ini dirancang untuk saling dukung-mendukung menjaga akses masuk ke pusat kota kerajaan. Kapal-kapal yang akan mencapai Pulau Lingga umumnya berlayar melalui sebelah barat pulau, karena merupakan jalur perdagangan yang ramai, sehingga menjadikan jalur tersebut aman dari perompak. Penyebab lainnya adalah karena jarak pencapaianya lebih dekat dengan ombak tidak seganas Laut China Selatan.
Benteng IV dan III merupakan lapis pertama pertahanan bagi kapal yang menuju ke pusat Kerajaan Lingga melalui Tanjung Butun. Disusul kemudian oleh pertahanan benteng V dan benteng I. Sedangkan bagi kapal yang memilih mengelilingi Pulau Mepar, Benteng III merupakan lapis pertama pertahanan, disusul benteng ke II dan benteng I. Tampaknya Benteng I dan III memiliki peran yang cukup penting mengingat fungsi benteng ini menjaga beberapa sisi pulau. Benteng III didesain berbentuk segitiga untuk menjaga sisi barat dan selatan, sedangkan benteng I berfungsi untuk menjaga 3 sisi yaitu sebelah utara, selatan dan timur Pulau. Keletakan benteng tersebut pada tempat yang tinggi menjadikan benteng I mampu mengawasi beberapa sudut, sehingga tumpuan pertahanan keamanan benteng Pulau Mepar terletak pada benteng I. Melalui benteng I tembakan dapat diarahkan ke Tanjung Butun atau ke Selat Kolombok (lihat peta). Tonjolan tanah di sisi utara dan timur yang menyerupai bastion kemungkinan berfungsi untuk meletakkan meriam khusus, berukuran lebih besar (?). Sudut-sudut tersebut dilengkapi meriam yang diarahkan ke Tanjung Butun atau ke arah kapal yang melintas Selat Kolombok.
Fungsi pertahanan benteng I didukung juga dengan benteng Bukit Cening, yaitu mengantisipasi kapal-kapal yang lolos dari Benteng Pulau Mepar untuk mendekati Kuala Daik. Meriam-meriam yang saat ini terdapat di Bukit Cening menurut informasi ditemukan juga di areal antara Bukit Cening dan Kuala Daik. Apabila kapal telah sampai didepan pintu masuk (Kuala Daik) maka pertahanan dilakukan oleh pos-pos di Kuala Daik. Dan apabila berhasil lolos pertahanan/penyerangan dilakukan dengan meriam-meriam yang ada di sepanjang tepi Sungai Daik. Menurut informasi beberapa meriam yang saat ini terdapat di kantor polisi dan lain-lain diangkat dari pinggiran Sungai Daik. Bahkan beberapa meriam sampai saat ini masih ada yang belum terangkat dari dasar sungai.
Pertahanan terakhir kemungkinan adalah benteng tanah yang terdapat di Pabean. Beberapa meriam yang saat ini berada di sekitar alun-alun menurut informasi ditemukan di sekitar Pabean. Bahkan beberapa buah meriam saat dilakukan penelitian tergeletak di halaman depan rumah penduduk. Meriam-meriam tersebut saat ini diletakkan di sekitar alun-alun, menghadap jalan. Dua buah meriam yang berada di depan Mess Pemda, apabila ditilik dari bentuk, ukuran, dan bahan bakunya tampaknya sangat spesifik. Pada masa Kesultanan Riau Lingga kedua meriam itu selain untuk mendukung pertahanan juga digunakan untuk hal-hal bersifat khusus, misalnya sebagai tanda penobatan raja, upacara penyambutan tamu kehormatan, atau untuk upacara pemakaman raja. Lombard menyatakan bahwa meriam-meriam seperti itu pada masanya dianggap sebagai jimat jenis baru, terutama untuk menampakkan kewibawaan raja (Lombard,2000: 209–212).
 
6. Benteng Tanah Lingga: Sistem Pertahanan Belanda
Sejarah mencatat bahwa kekuasaan para sultan pada akhirnya berada di bawah dominasi Belanda. Perdagangan yang menjadi tulang punggung perekonomian kerajaan dan hasil-hasil perdagangan yang dilakukan daerah-daerah pada akhirnya harus dijual pada Belanda dengan harga yang telah ditentukan, terutama barang-barang yang bernilai tinggi di pasaran dunia. Para sultan dipaksa menandatangani perjanjian-perjanjian yang memberatkan. Setiap pergantian sultan merupakan suatu kesempatan baru bagi Belanda untuk mengadakan dan memperbaharui perjanjian dengan ikatan-ikatan yang lebih berat. Hal inilah yang mengakibatkan beberapa sultan membangkang.
Tampaknya sistem pertahanan keamanan yang terdapat di Kerajaan Lingga merupakan suatu sistem pertahanan semu. Pertahanan keamanan hanya dipakai oleh kerajaan apabila kedatangan “musuh”, yaitu perompak yang mengganggu perdagangan Belanda, karena pada hakekatnya saat itu sesama Bangsa Melayu merasa memiliki beban yang sama, yaitu mematahkan dominasi Belanda atas jalur-jalur perdagangan di Selat Malaka. Salah satu contoh adalah sikap mendua pasukan dari Kerajaan Lingga yang diperintahkan menyerang Reteh. Pasukan Kesultanan Riau-Lingga yang tergabung dengan pasukan Belanda melakukan penyerangan ke Reteh tidak dengan sepenuh hati, sehingga Belanda terpaksa meminta tambahan pasukan untuk mengganti posisi orang-orang Melayu tersebut (Abrus,1998: 57).
Penempatan benteng-benteng pertahanan di beberapa kerajaan pada masa itu sedikit banyak untuk kepentingan Belanda. Peralatan perang yang didatangkan dari Belanda merupakan salah satu petunjuk bahwa pembelian persenjataan untuk pertahanan keamanan dengan sepengetahuan dan dikontrol oleh Belanda. Sedangkan salah satu bentuk pengawasan terhadap penggunaannya dilakukan dengan menempatkan sepasukan kecil di Pulau tersebut.
Pada masa pemerintahan Sultan Said Mudoyatsyah harus membayar mahal kemenangannya berperang dengan Raja Muda Jumahat yang dibantu Belanda dengan menanda tangani kontrak politik yang dikenal dengan Traktaat Van Vrede en Vriendshap salah satu isinya adalah mengakui hak Pemerintah Hindia Belanda untuk mendirikan benteng-benteng di Indragiri guna melindungi pelayaran, perdagangan, dan pencegahan perampokan laut (Abrus, 1998:36–54).
Berdasarkan beberapa hal, seperti tersebut di atas, penempatan bangunan-bangunan pertahanan merupakan sebuah sistem pertahanan yang digunakan Belanda untuk membatasi gerak seorang penguasa (sultan). Bangunan pertahanan digunakan untuk mengurung sultan di dalam kota kerajaannya. Penggunaan meriam ataupun peralatan-peralatan perang diawasi oleh Belanda. Salah satu isi perjanjian yang ditanda tangani oleh Sultan Mahmud Muzafar Syah tanggal 10 Juni 1837 adalah: Belanda akan menempatkan suatu pasukan kecil di Lingga (Abrus,1998:54). Pengaturan seperti itu adalah untuk kepentingan keamanan pemerintahan Belanda. Wujud dominasi ini diketahui dari beberapa keputusan Belanda untuk mencopot beberapa sultan yang dianggap membangkang.
7. Masa Pembangunan Benteng Pertahanan Kerajaan Lingga
Menilik bentuk, bahan, dan pola hias meriam yang terdapat di benteng Bukit Cening dengan yang ada di Pulau Mepar menunjukkan bahwa meriam-meriam yang terdapat di Pulau Lingga memiliki kualitas yang lebih baik dibandingkan dengan yang terdapat di Pulau Mepar. Meriam yang terdapat di Lingga menggunakan bahan yang lebih baik dan memiliki tanda-tanda khusus yang menunjukan bahwa meriam tersebut didatangkan dari Belanda, diketahui dari beberapa pertulisan seperti VOC, HB, X, O dan lain-lain. Sebaliknya pada meriam yang terdapat di Pulau Mepar berbahan kurang baik dan tidak terdapat pertulisan ataupun tanda-tanda lain. Kualitas bahan yang kurang baik mengakibatkan salah satu meriam yang terdapat di Pulau Mepar pecah pada bagian ujungnya akibat panas karena terlalu sering digunakan. Bila dibandingkan dengan yang terdapat di Bukit Cening, meriam di Pulau Mepar lebih kasar, kemungkinan meriam tersebut buatan lokal atau didatangkan dari daerah yang belum maju teknologi pembuatannya.
Menilik angka tahun yang terdapat pada meriam yang terdapat di Bukit Cening kemungkinan meriam itu lebih tua dibandingkan dengan yang ada di Mepar. Pertulisan angka tahun 1783 dan 1797 sejaman dengan pindahnya pusat kota Kerajaan Melayu-Riau ke Lingga. Sedangkan informasi mengenai keberadaan meriam di Pulau Mepar adalah saat diangkutnya perlengkapan perang Kesultanan Melayu dari Pulau Mepar ke Reteh pada tahun 1858, diantara peralatan perang itu adalah meriam-meriam (Abrus,1998:56). Mungkin pada waktu itu meriam-meriam tersebut dalam kondisi baru, sekitar 40–70 tahun lebih baru dibandingkan meriam-meriam VOC.  
Apabila dilihat dari kondisi, bahan maupun pola hias meriam yang terdapat di Bukit Cening, Pabean, serta beberapa yang ditemukan tercecer di Pulau Lingga sebagian besar memiliki persamaan. Dengan demikian kemungkinan masa pembangunan benteng Bukit Cening, Pabean, dan Kuala Daik sejaman. Sedangkan apabila dibandingkan dengan meriam yang terdapat di Pulau Mepar, kemungkinan masa pembangunannya lebih belakangan, tidak berselang jauh dengan penggunaan meriamnya pada saat pertama digunakan.        
8. Kesimpulan
Kerajaan Riau-Lingga merupakan sebuah kerajaan yang dilengkapi dengan sistem pertahanan keamanan, untuk menjaga akses masuk ke kerajaan. Sistem pertahanan keamanan tersebut bertumpu pada keberadaan pos-pos pertahanan yang berupa bangunan-bangunan tanah yang terdapat di Mepar, Bukit Cening, Kuala Daik, dan yang terdapat di Pabean. Benteng-benteng tersebut tersusun secara sistematis sesuai dengan arah perjalanan sebuah kapal untuk mencapai pusat kota kerajaan. Tetapi kuatnya dominasi Belanda atas para sultan mengindikasikan lain. Benteng-benteng tersebut oleh Belanda digunakan untuk “mengurung “ para sultan agar tetap berada di kerajaannya. Penempatan sepasukan kecil tentara Belanda merupakan salah satu bukti bahwa penggunaan benteng-benteng pertahanan berada dibawah pengawasan dan digunakan sepenuhnya untuk kepentingan Belanda.  
Berdasarkan analisis bahan, didukung dengan data sejarah meriam yang terdapat di Pulau Lingga dan dibandingkan dengan yang terdapat di Pulau Mepar terdapat indikasi bahwa meriam-meriam di Pulau Lingga memiliki persamaan. Meriam-meriam tersebut kemungkinan berasal dari Belanda, sedangkan yang terdapat di Mepar kemungkinan buatan lokal atau daerah yang memiliki teknik pembuatan kurang maju.     
Kepustakaan
Abrus, Drs.H. Rustam, dkk, 1998. Sejarah Perjuangan Panglima Besar Reteh, Tengku Sulung melawan Belanda Tahun 1858. Pekanbaru: Unri Press
Gaffnesia, Dahsyat, 1999. Masa Berakhirnya Kerajaan Riau Lingga, dalam Pola Penguasaan dan Pemilikan Tanah di Riau Kepulauan 1960—1977. Tanjung Pinang: Jarahnitra, hal. 89—129
Geldern, Robert Heine, 1982. Konsepsi Tentang Negara Kedudukan Raja di Asia Tenggara (diterjemahkan oleh Deliar Noer). Jakarta: Rajawali Press
Groeneveldt, WP, 1960. Historical Notes on Indonesia and Malaya. Compiled from Chinese Source. Djakarta: Bhratara
Kecamatan Lingga Dalam Angka, 1966. Tanjung Pinang: Biro Pusat Statistik
Koestoro, Lucas P. dkk,2001. Penelitian Arkeologi Di Pulau Lingga, Kabupaten Kepulauan Riau, Provinsi Riau, dalam Berita Penelitian Arkeologi No. 5. Medan : Balai Arkeologi Medan
Monografi Daerah Riau, 1980. Jakarta: Proyek Pengembangan Media Kebudayaan  Departemen Pendidikan RI
Nurhajarini, Dwi Ratna, 1999. Sejarah Kerajaan Tradisional Surakarta. Jakarta: Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan RI
Rencana Kota Daik Ibukota Kecamatan Lingga, 1991/1992-2010/2011 dalam Analisis Pemerintah Daerah Tk. II Kep. Riau. Tanjung Pinang: Pemerintah Daerah Tk.II Kep. Riau
Riyanto, Sugeng, 1994/1995. Morfologi Meriam Kuno, dalam Amerta No. 15 Jakarta: Puslitarkenas, hal.26—35
Syam, H. Azhar dan Sindhu Galba, 1997. Daik Selayang Pandang. Tanjung Pinang: Dinas Pariwisata Tk. II Kep. Riau dan Jarahnitra
Winoto, Gatot, 1993. Mengenal Benda dan Bangunan Bersejarah Peninggalan Kesultanan Riau Lingga di Daik, dalam Buletin Jarahnitra No. 4. Tanjung Pinang: Jarahnitra, hal.1—7

Rabu, 15 September 2010

Berburu Harta Karun




Berburu Harta Karun ke Lingga
Iwan Ulhaq Panggu

(lumbungbalitours.com)
INILAH.COM, Jakarta - Ingin berburu harta karun? Datanglah ke Pulau Kute. Harta karun bekas kerajaan Lingga terbengkalai dan tercecer di pantai berlumpur Pulau Kute, Lingga, Riau. Pernah ditemukan patung kepala Marcopolo.
Seorang pengumpul benda bersejarah, Tengku Kelana mengatakan di Batam, Sabtu (19/4), pada musim-musim tertentu harta karun yang terpendam di tanah berlumpur muncul ke permukaan. "Biasanya, usai musim hujan, setelah air laut pasang, barang-barang itu bermunculan ke permukaan tanah," katanya.
Hanya diperlukan kayu panjang untuk menemukan harta karun berupa keramik, patung-patung dan pernak-pernik peninggalan Kerajaan Lingga lain. Kayu panjang itu cukup ditusuk-tusukan ke dalam tanah berlumpur, bila kayu membentur benda keras, maka bisa dipastikan itu adalah harta karun.
Menurut Tengku, harta karun yang tersimpan di Pulau Kute tidak rusak meskipun berumur hingga ribuan tahun, karena karakteristik lumpur tidak merusak. "Kalau di pasir, keramik bisa bopeng-bopeng," katanya.
Kesultanan Riau-Lingga merupakan kerajaan Islam yang berdiri di Kepulauan Riau, Indonesia pada paruh pertama abad ke-19. Secara historis, kemunculan kesultanan ini bisa dirunut dari sejarah Kesultanan Malaka dan Johor. Ketika Kesultanan Malaka berdiri pada abad ke-15, Riau-Lingga merupakan daerah yang termasuk dalam kekuasaan Malaka.
Di saat Malaka runtuh karena serangan kolonialis Portugis, muncul kemudian Kerajaan Riau-Johor yang menggantikan posisi Malaka sebagai representasi kekuatan politik puak Melayu di kawasan tersebut. Ketika itu, Riau-Lingga termasuk wilayah yang berada dalam kekuasaan Riau-Johor.
Dalam perkembangannya, Kerajaan Riau-Johor pun melemah akibat faktor internal dan eksternal. Faktor eksternal yang paling berpengaruh adalah konspirasi jahat kolonial Inggris dan Belanda yang terangkum dalam Traktat London yang ditandatangani pada tanggal 17 Maret 1824. Isi traktat membagi wilayah kerajaan Melayu menjadi dua pemilik, Inggris dan Belanda.
Semenanjung Malaya dan Singapura menjadi milik Inggris, sedangkan Sumatera dan Jawa menjadi milik Belanda. Akibat dari penerapan isi perjanjian tersebut adalah terpecahnya kerajaan Melayu menjadi dua, Johor di Malaysia dan Riau-Lingga di Kepulauan Riau.
Sejak tahun 1824 itu, Riau-Lingga resmi berdiri dan menjadi kerajaan yang terpisah dari Johor. Sultan pertama yang menduduki tahta di Riau Lingga adalah Sultan Abdul Rahman Muazzam Syah.
Ihwal harta karun yang ditemukan di Pulau Kute berasal dari kapal-kapal asing yang karam saat melintasi Selat Malaka. Karena berbentuk teluk, maka sisa-sisa kapal yang tenggelam terkumpul di sana. Mungkin juga berasal dari kapal perompak yang karam.
Karakteristik tanah yang berlumpur diperkirakan menahan benda sejarah itu tertahan saat air laut surut, sehingga tidak terbawa arus laut.
Di rumah seorang warga terdapat beberapa keris khas Melayu peninggalan Kerajaan Lingga. Warga Lingga lain menemukan patung Marcoplo yang kini telah dibeli warga Belanda.
Beberapa warga Lingga menjadikan jual beli harta karun itu sebagai penghasilan tambahan, karena harga barang sejarah itu ditawarkan dengan harga tinggi oleh rumah lelang di Singapura.
Setiap bulan, rumah lelang mengeluarkan daftar barang prasejarah yang dicari, berikut tawaran harga dalam sebuah buku. Dari buku tersebut, warga Lingga mencocokan benda yang mereka miliki.
Tengku Kelana pernah menjual piring seharga puluhan juta. Akhir Maret 2008, mangkuk milik Tengku ditawar Rp300 juta oleh makelar asal Malaysia. Mangkuk yang diperkirakan berumur sekitar 1.000 tahun, peninggalan Dinasti Ming itu istimewa, karena makanan yang diletakan di atasnya anti basi.
"Ketika dites, santan diletakkan di atasnya selama tiga hari, dan hasilnya tidak basi," katanya. Namun, ia menolak untuk menjualnya.
Selain itu, tiga piring berusia 800 tahun peninggalan Dinasti Sung juga ditaksir ratusan juta rupiah. Tiga piring berbeda ukuran itu bermotof ikan, sisik ikan timbul berwarna putih, menurut Tengku, itu ciri-ciri peninggalan Dinasti Sung, berdasarkan buku yang ia baca.
Keturunan Raja Lingga itu juga mengoleksi berbagai jenis uang koin tua, di antaranya koin viktoria, yang pada badan koin tercantum tahun 1883. Ada juga uang satu dolar Hongkong tahun 1867. Di rumahnya terdapat tiga gramophon buatan Inggris dan Amerika, produksi 1889 dan 1887. Semuanya ditemukan di sekitar Lingga