Search

Selasa, 30 November 2010

pantai impian, lingga utara, pulau lingga, kepulauan riau

pantai impian, lingga island
0/04/2008 - 05:56
Berburu Harta Karun ke Lingga
Iwan Ulhaq Panggu

(lumbungbalitours.com)
INILAH.COM, Jakarta - Ingin berburu harta karun? Datanglah ke Pulau Kute. Harta karun bekas kerajaan Lingga terbengkalai dan tercecer di pantai berlumpur Pulau Kute, Lingga, Riau. Pernah ditemukan patung kepala Marcopolo.
Seorang pengumpul benda bersejarah, Tengku Kelana mengatakan di Batam, Sabtu (19/4), pada musim-musim tertentu harta karun yang terpendam di tanah berlumpur muncul ke permukaan. "Biasanya, usai musim hujan, setelah air laut pasang, barang-barang itu bermunculan ke permukaan tanah," katanya.
Hanya diperlukan kayu panjang untuk menemukan harta karun berupa keramik, patung-patung dan pernak-pernik peninggalan Kerajaan Lingga lain. Kayu panjang itu cukup ditusuk-tusukan ke dalam tanah berlumpur, bila kayu membentur benda keras, maka bisa dipastikan itu adalah harta karun.
Menurut Tengku, harta karun yang tersimpan di Pulau Kute tidak rusak meskipun berumur hingga ribuan tahun, karena karakteristik lumpur tidak merusak. "Kalau di pasir, keramik bisa bopeng-bopeng," katanya.
Kesultanan Riau-Lingga merupakan kerajaan Islam yang berdiri di Kepulauan Riau, Indonesia pada paruh pertama abad ke-19. Secara historis, kemunculan kesultanan ini bisa dirunut dari sejarah Kesultanan Malaka dan Johor. Ketika Kesultanan Malaka berdiri pada abad ke-15, Riau-Lingga merupakan daerah yang termasuk dalam kekuasaan Malaka.
Di saat Malaka runtuh karena serangan kolonialis Portugis, muncul kemudian Kerajaan Riau-Johor yang menggantikan posisi Malaka sebagai representasi kekuatan politik puak Melayu di kawasan tersebut. Ketika itu, Riau-Lingga termasuk wilayah yang berada dalam kekuasaan Riau-Johor.
Dalam perkembangannya, Kerajaan Riau-Johor pun melemah akibat faktor internal dan eksternal. Faktor eksternal yang paling berpengaruh adalah konspirasi jahat kolonial Inggris dan Belanda yang terangkum dalam Traktat London yang ditandatangani pada tanggal 17 Maret 1824. Isi traktat membagi wilayah kerajaan Melayu menjadi dua pemilik, Inggris dan Belanda.
Semenanjung Malaya dan Singapura menjadi milik Inggris, sedangkan Sumatera dan Jawa menjadi milik Belanda. Akibat dari penerapan isi perjanjian tersebut adalah terpecahnya kerajaan Melayu menjadi dua, Johor di Malaysia dan Riau-Lingga di Kepulauan Riau.
Sejak tahun 1824 itu, Riau-Lingga resmi berdiri dan menjadi kerajaan yang terpisah dari Johor. Sultan pertama yang menduduki tahta di Riau Lingga adalah Sultan Abdul Rahman Muazzam Syah.
Ihwal harta karun yang ditemukan di Pulau Kute berasal dari kapal-kapal asing yang karam saat melintasi Selat Malaka. Karena berbentuk teluk, maka sisa-sisa kapal yang tenggelam terkumpul di sana. Mungkin juga berasal dari kapal perompak yang karam.
Karakteristik tanah yang berlumpur diperkirakan menahan benda sejarah itu tertahan saat air laut surut, sehingga tidak terbawa arus laut.
Di rumah seorang warga terdapat beberapa keris khas Melayu peninggalan Kerajaan Lingga. Warga Lingga lain menemukan patung Marcoplo yang kini telah dibeli warga Belanda.
Beberapa warga Lingga menjadikan jual beli harta karun itu sebagai penghasilan tambahan, karena harga barang sejarah itu ditawarkan dengan harga tinggi oleh rumah lelang di Singapura.
Setiap bulan, rumah lelang mengeluarkan daftar barang prasejarah yang dicari, berikut tawaran harga dalam sebuah buku. Dari buku tersebut, warga Lingga mencocokan benda yang mereka miliki.
Tengku Kelana pernah menjual piring seharga puluhan juta. Akhir Maret 2008, mangkuk milik Tengku ditawar Rp300 juta oleh makelar asal Malaysia. Mangkuk yang diperkirakan berumur sekitar 1.000 tahun, peninggalan Dinasti Ming itu istimewa, karena makanan yang diletakan di atasnya anti basi.
"Ketika dites, santan diletakkan di atasnya selama tiga hari, dan hasilnya tidak basi," katanya. Namun, ia menolak untuk menjualnya.
Selain itu, tiga piring berusia 800 tahun peninggalan Dinasti Sung juga ditaksir ratusan juta rupiah. Tiga piring berbeda ukuran itu bermotof ikan, sisik ikan timbul berwarna putih, menurut Tengku, itu ciri-ciri peninggalan Dinasti Sung, berdasarkan buku yang ia baca.
Keturunan Raja Lingga itu juga mengoleksi berbagai jenis uang koin tua, di antaranya koin viktoria, yang pada badan koin tercantum tahun 1883. Ada juga uang satu dolar Hongkong tahun 1867. Di rumahnya terdapat tiga gramophon buatan Inggris dan Amerika, produksi 1889 dan 1887. Semuanya ditemukan di sekitar Lingga

Jumat, 05 November 2010

Sejarah Melayu

Migrasi Manusia Dari Sungai Mekong Ke Dunia Melayu

Sumber : http://sejarahmelayu.wordpress.com/
Sungai Mekong
Sungai Mekong, yang berukuran 4180km panjang, bermula dari Tibet dan melalui Yunnan, wilayah China, Myanmar, Thailand, Laos, Kemboja dan Vietnam. Pakar-pakar Antropologi menjejaki migrasi masyarakat Melayu Proto, yang merupakan pelaut, lebih kurang 10,000 tahun dahulu apabila mereka belayar menggunakan perahu di sepanjang Sungai Mekong dari Yunnan sehingga Laut China Selatan dan akhirnya mendiami di tempat-tempat berbeza.
Mekong
Yunnan
Penduduk-penduduk awal Yunnan dapat dijejaki dalam sejarah sejak 170 juta tahun dahulu dari sebuah fosil homo erectus, ‘Manusia Yuanmou’,yang dijumpai pada tahun 60-an. Pada tahun 221 SM, Qin Shihuang berjaya menakluk Yunnan dan menyatukan China dan sejak itu mula menjadi sebuah wilayah dalam China. Mereka ini terkenal dengan teknik menanam tanaman padi untuk dibuat nasi.
Teori migrasi Yunnan
Teori Melayu Proto berasal dari Yunnan disokong oleh R.H Geldern, J.H.C Kern, J.R Foster, J.R Logen, Slametmuljana dan Asmah Haji Omar. Melayu Proto (Melayu asli) yang pertama sekali datang mempunyai kemahiran dalam bidang pertanian sementara golongan kedua, Melayu Deutro yang tiba sekitar tahun 1500 SM dan mendiami pesisir pantai mempunyai kemahiran menangkap ikan yang tinggi. Semasa berlakunya migrasi itu, kedua-dua golongan berkahwin dengan masyarakat-masyarakat dari pulau-pulau selatan seperti Jawa, serta penduduk tempatan yang berasal dari keturunan Australasia dan Negrito. Walaubagaimanapun masih terdapat beberapa pihak yang tidak mempersetujui teori ini.
Antara bukti-bukti lain yang menyokong teori ini termasuklah:
* Alatan-alatan batu yang dijumpai di Kepulauan Melayu sama dengan alatan-alatan dari Asia Tengah.
* Persamaan adat resam Melayu dan Assam.
* Bahasa Melayu dan Bahasa Kemboja adalah serumpun kerana tempat asal orang-orang Kemboja berasal dari sumber Sungai Mekong.
Delta Mekong
Menurut sejarah Khmer, tamadun terawal ialah tamadun Khmer Funan di Delta Mekong. Empayar Khmer Angkor ialah yang terakhir sebelum mereka mencari perlindungan di pelbagai tempat. Palembang dan Melaka adalah antara tempat berkenaan. Bukti-bukti arkeologi mendapati penduduk awal Kemboja adalah penduduk dari budaya zaman Neolitik. Mereka mahir dalam kemahiran teknikal sementara kumpulan yang lebih maju yang tinggal di pesisir pantai dan lembah Delta Mekong menanam padi.
Teks Melayu Tertua
Teks Melayu Tua
Teks silam Melayu yang dijumpai di Kedukan Bukit, Palembang tahun D mempunyai persamaan dengan muka pintu Yunnan 2006.
Inskripsi Batu Bersurat Kedukan Bukit tahun 682 yang dijumpai di Palembang dan tulisan tradisional masyarakat minoriti Dai adalah berasal bahasa-bahasa Pallava. Etnik Dai Yunnan adalah salah satu penduduk asal wilayah Yunnan, China.
Hubungan Melayu – Cham
Persamaan Bahasa Cham dan Bahasa Melayu dapat ditemui pada nama tempat-tempat seperti Kampong Cham, Kambujadesa, Kampong Chhnang dan sebagainya. Sejarah Melayu dengan jelas menyebut terdapatnya komuniti Cham di Melaka sekitar tahun 1400. Pada pertengahan tahun 1400 apabila Cham tewas kepada orang-orang Vietnam, lebih kurang 120,000 orang terbunuh dan pada sekitar tahun 1600 Raja Champa memeluk Islam. Pada sekitar tahun 1700 raja Muslim terakhir Champa Pô Chien mengumpulkan orang-orangnya dan berhijrah ke selatan Kemboja sementara mereka yang tinggal sepanjang pesisir pantai berhijrah ke Terengganu dan ada yang ke Kelantan.
Persamaan Bahasa Cham dan Melayu
Klik untuk gambar besar.
Wanita Yunnan
Wanita Yunnan hari ini juga memakai kain batik dan sarong. Perkara ini adalah satu persamaan dengan para wanita Melayu.

Pendatang-pendatang Hindu awal

Kedatangan pengaruh Hindu-Buddha mula memasuki kawasan Nusantara hanya beberapa ratus tahun selepas itu. Mereka ini mula memperkenalkan kebudayaan, seni bina, bahasa, tulisan, perkataan, makanan, adat resam, agama, sistem kerajaan, pendidikan moral dan banyak lagi kepada masyarakat setempat. Mereka ini mendirikan kerajaan Melayu tempatan pertama sendiri yang dikenali sebagai Srivijaya atau Vijayanaggar yang bertahan selama 1400 tahun.
Terdapat pelbagai versi kisah-kisah mengenai kedatangan pengaruh Hindu-Buddha ke alam Nusantara dicatitkan. Ini termasuk di dalam penulisan Tun Sri Lanang – Sulalatus As-Salatin, Hikayat Merong Mahawangsa, Hikayat Hang Tuah, Kisah Raja-Raja Pasai dan sebagainya. Bagaimanapun, saya akan huraikan perkara ini kemudian.
Pada masa ini, Asia Tenggara atau Kepulauan Melayu telah terbahagi kepada dua bahagian. Bahagian yang pertama adalah dari kerajaan Srivijaya yang mana kemudiannya pada era moden ini telah membentuk Malaysia, Indonesia dan Singapura. Bahagian yang kedua pula adalah dari kerajaan-kerajaan kuno Burma, Siam dan Khmer yang kemudiannya membentuk negara-negara moden Indo-China seperti Thailand, Vietnam, Kemboja dan sebagainya.
Pengaruh serta kuasa-kuasa Hindu-Buddha ini kemudian memperluaskan penggunaan bahasa serta penulisan mereka di sini. Mereka juga menggelarkan Asia Tenggara dengan nama ‘Suvarnabhumi’ yang bermaksud ‘Tanah-Tanah Emas’.

2,500 tahun dahulu – Zaman Gangsa

Semakin ramai manusia tiba, termasuklah pelaut-pelaut dan puak-puak baru. Tanah Melayu menjadi tempat persimpangan perdagangan laut pada zaman lampau. Pelaut-pelaut yang datang ke pantai Semenanjung Tanah Melayu termasuklah orang-orang India, Mesir, Timur Tengah, Jawa, dan Cina. Ptolemy menamakan Tanah Melayu sebagai Aurea Chersonesus (Semenanjung Emas) sementara Tanah Jawa pula digelar sebagai Labadius satu perkataan yang diubah dari bahasa sanskrit lama. Gelaran asal di dalam Sanskrit ialah Yavadvipa.
Peta Asia Ptolemy
Peta Asia yang dilukis oleh Ptolemy mengikut gambaran beliau. (Klik sini bagi gambar besar)
Pada ketika ini, kemahsyuran dan kemewahan yang terdapat di segenap pelusuk Asia Tenggara telah tersebar luas sejauh eropah. Kemewahan ini kebenyakkannya digambarkan sebagai ‘Kemewahan yang tidak disentuh’ oleh cerdik pandai dari barat pada zaman itu memandangkan tiada kerajaan-kerajaan besar di kawasan sekitar Asia Tenggara.
Claudius PtolemaeusMaka sememangnyalah tidak hairan apabila Claudius Ptolemaeus atau Ptolemy, seorang ilmuan dari Alexandria atau Macedonia amat berminat dengan hasil-hasil bumi di sekitar Asia Tenggara sehingga beliau melukiskan peta Asia mengikut kefahaman beliau. Beliau turut melakarkan peta dunia dalam pengajian beliau mengenai Geografi dunia.
Ini juga menunjukkan bahawa para ilmuan Eropah dan barat telah lama memerhatikan keadaan di sekitar Asia Tenggara atau Nusantara, tetapi atas beberapa sebab, mereka hanya berjaya sampai ke sini pada kurun ke-16. Tetapi disebalik fakta ini, ada beberapa pendapat mengatakan bahawa telah berlaku beberapa siri eksplorasi penjelajahan dari kalangan penduduk Iskandariah atau Alexandria yang mengikuti siri penaklukan Iskandar Zulkarnain atau Alexander The Great.

10,000 – 5,000 tahun dahulu- Neolitik

Masyarakat mula mengetahui cara-cara membina rumah yang mudah dan mereka juga sekarang sudah mengetahui cara berkeluarga. Konsep asas moral dan masyarakat mula diterjemahkan.
Pada era ini jugalah dikatakan bahawa manusia mula memasuki Benua Eropah bagi meluaskan penempatan. Walaupun terdapat penemuan rangka manusia yang berusia lebih kurang 2 juta tahun di Eropah, tetapi belum ada bukti penempatan tetap atau sesebuah penempatan besar di sana sehinggalah pada era Neolitik.
Eropah Era Neolitik
Klik untuk gambar besar.

35,000 – 10,000 tahun dahulu – Mesolitik

Pakar-pakar Antropologi berjaya menjejaki sekumpulan pendatang baru iaitu pelaut-pelaut Melayu Proto yang berhijrah dari Yunnan ke Malaysia. Masyarakat-masyarakat Negrito (Orang Asli) dan masyarakat tempatan yang lain terpaksa berpindah ke lereng-lerang bukit. Di masa inilah manusia mula mengetahui cara-cara berpakaian, memasak, memburu, dan memburu dengan senjata batu yang lebih maju. Teknik berkomunikasi juga telah berkembang.
Ada teori berpendapat, pada era ini juga berlakunya dua pertembungan besar manusia dari 2 era atau zaman di dalam satu zaman. Teori itu mengatakan bahawa manusia dari zaman Mesolitik (dari Yunnan) telah berhijrah ke kawasan Tanah Melayu lalu bertemu dengan penduduk sini iaitu masyarakat Negrito yang masih lagi hidup dalam era Paleolitik.
Manusia dari dua era ini telah berkembang lagi apabila mereka bercampur sesama mereka dan mereka inilah yang kemudiannya digelar ‘Manusia Proto Asia’ yang kemudiannya menjadi ‘Polynesia’, ‘Micronesia’ dan ‘Melanesia’. Mereka-mereka ini kemudiannya berkembang dan bertaburan di sekitar Kepulauan Hawaii, New Zealand, Papua New Gunea, Malaysia, Singapura, Indonesia, Filipina dan beberapa negara sekitar Asia Tenggara lagi. Atas dasar-dasar tersebut juga, mereka-mereka ini dikatakan adalah ‘saudara’ kepada orang-orang Melayu.

40,000 – 35,000 tahun dahulu – Paleolitik

Era Paleolitik adalah sebuah era yang hari ini kita menyebutnya sebagai era ‘zaman batu’ atau ‘ice age’. Manusia-manusia awal menjalani kehidupan yang sederhana dengan menjalankan aktiviti pemburuan. Masyarakat awal masih mendiami di kaki-kaki bukit dan pada hari ini dikenali sebagai Orang Asli. Sekarang, Orang Asli berserta dengan orang-orang Melayu dan masyarakat pribumi Sabah dan Sarawak dikenali sebagai masyarakat bumiputra. 65% populasi di Malaysia adalah dari kalangan mereka.
Pada waktu ini, mengikut kajian DNA yang dilakukan oleh Spencer Wells yang ditaja oleh National Geographic dengan tajuk ‘The Journey of Man: A Genetic Odyssey’, muka bumi keseluruhan adalah masih kosong dan belum dihuni manusia terutamanya di bahagian-bahagian Eropah serta utara muka bumi seperti Russia dan sebagainya.
Apabila berahkirnya zaman ais (ice age), ais mula cair dan membanjiri hampir separuh dari muka bumi terutamanya di bahagian utara. Manusia seperti yang kita ketahui iaitu keturunan dari Nabi Allah Adam Alaih Salam pada ketika itu banyak tinggal atau menghuni sekitar Tanah Arab dan Afrika.
Mereka-mereka ini kemudian berpindah secara nomad apabila ais mula cair. Ada di antara beberapa kumpulan yang menjalani perpindahan ini, memilih untuk tinggal di sekitar Arab, India dan ada yang berjalan terus sehingga China dan Mongolia. Kumpulan yang lain pula melintas melalui Tanah Arab, Iraq, India, Afghanistan dan beberapa negara sekitar sebelum sampai ke tanah semenanjung yang kemudiannya kita gelar, ‘Tanah Melayu’. Ada yang memilih untuk menetap terus di sekitar kawasan ini manakala kumpulan yang paling akhir sekali meneruskan perjalanan sehingga Australia dan New Zealand. Keturunan dari mereka ini kemudiannya digelar ‘native Australian’ pada hari ini.

Tamadun Awal 40,000 – 2,000 Tahun Dahulu Di Tanah Melayu

Zaman Batu
Sejarah awal tamadun manusia di Tanah Melayu telah bermula tidak kurang 200,000 tahun dahulu di mana bukti-bukti kewujudan manusia dapat di jumpai sekitar Kota Tampan di Lenggong, Perak. Anatara penemuan terbesar yang pernah di rekodkan dalam kajian sejarah Malaysia ialah penemuan rangka manusia yang berumur sekitar 11,000 tahun di Leggong yang diberi nama ‘Perak Man’ atau ‘Orang Tampan’.
Di kawasan sekitar Lenggong juga, ditemui beberapa kawasan pembuatan peralatan-peralatan batu bagi membuat andas dan tukul-tukul batu bagi kegunaan manusia pra-sejarah yang masih terpelihara dengan baik.
Selain kewujudan manusia pra-sejarah Tanah Melayu di Lenggong Perak, antara penemuan terbesar Malaysia juga terdapat di sekitar Gua Niah, Sarawak. Bukti-bukti yang berusia lebih kurang 40,000 tahun ini menunjukkan bahawa sudah ada penempatan manusia sejak sekian lama.
Salah satu bukti kewujudan manusia pra-sejarah yang terkenal ialah lukisan-lukisan di dinding Gua Tambun seperti di bawah.


Lukisan Dinding Gua Tambun

Selasa, 26 Oktober 2010

Dokter dizaman Kejayaan Kerajaan Riau lingga


\Raja Ahmad doktor kerajaan Riau


ULAMA dan tabib atau doktor perubatan yang diriwayatkan dalam artikel ini adalah cucu daripada tokoh besar dalam sejarah Melayu. Dari sebelah ayah beliau adalah cucu Raja Ali Haji, ahli bahasa dan sejarah yang cukup terkenal. Dari sebelah ibunya pula ialah keturunan daripada Raja Abdullah atau al-Marhum Mursyid, Yang Dipertuan Muda Riau-Lingga ke IX. Ulama dan tabib yang dimaksudkan ialah Raja Ahmad Thabib bin Raja Hasan bin Raja Ali Haji Riau. Ibunya Raja Maimunah adalah puteri Raja Abdullah atau al-Marhum Mursyid. Berdasarkan tulisan Raja Muhammad Yunus Ahmad, dalam Peringatan dinyatakan bahawa Raja Ahmad Thabib lahir tahun 1282 H/1865 M. Dari sumber yang lain diriwayatkan beliau lahir di Pulau Penyengat Indera Sakti.

Berdasarkan sebuah buku catatan tulisan Raja Muhammad Sa'id bin Raja Jaafar dengan lengkap bahawa adik beradik Raja Ahmad Thabib ada 12 orang. Mereka ialah: 1. Raja Abdullah Hakim (seorang ulama besar, Hakim Kerajaan Riau-Lingga), 2. Raja Khalid Haitami (ulama dan tokoh politik, meninggal dunia di Jepun sewaktu menjalankan urusan rahsia/sulit demi memerdekakan seluruh dunia Melayu yang sedang dijajah), 3. Raja Ahmad Thabib (yang sedang diriwayatkan dalam artikel ini), 4. Raja Manshur, 5. Raja Mariyah, 6. Raja Qamariah, 7. Raja Umar (Mudir Mathba'ah Al-Ahmadiah yang pertama), 8. Raja Ali Andi, 9. Raja 'Abdur Rasyid, 10. Raja Kaltsum, 11. Raja Rahah, dan 12. Raja 'Amimah

Sumber terawal tentang Raja Ahmad Thabib ditulis agak ringkas oleh Raja Muhammad Yunus bin Raja Ahmad dalam Peringatan, No.1, th.1, Mei 1939, dicetak oleh Al-Ahmadiah Press, 101 Jalan Sultan, Singapura. Dalam tulisan tersebut terdapat gambar Raja Ahmad Thabib ketika berusia 77 tahun. Di sini saya salin selengkapnya tanpa perubahan bahasa, kecuali ejaan lama diganti dengan ejaan sekarang, adalah sebagai berikut, "Yang Mulia Raja Haji Ahmad bin Raja Hasan, bekas Thabib Duli Yang Maha Mulia Sultan Abdur Rahman al-Muazzam Syah, bekas Sultan Riau. Yang Mulia ini diputerakan tahun 1282 H (1865 M, pen:). Dalam tahun 1299 H (1881 M, pen:) berangkat ke Mekah. Setelah mengerjakan haji dan melawat seluruh Tanah Arab baharu kembali ke Penyengat, iaitu dalam tahun 1300 H (1882 M, pen:).

''Dalam tahun 1301 H (1883 M, pen:) setelah Yang Mulia ini dapat akuan daripada tabib yang masyhur di Penyengat mulai menjadi Thabib patikuler (maksudnya: swasta, pen:). Dan dalam tahun 1319 H (1901 M, pen:) diangkat menjadi tabib kerajaan dan bagi Duli Yang Mulia Sultan dengan besluit (maksudnya: pengesahan menjadi pegawai kerajaan) bertarikh 25 Rabiulawal 1319 H, No. 6/8. Kemudian setelah terpecat Sultan Riau dari tahta kerajaannya maka Yang Mulia dikurnia oleh Governement Holanda pensiun (pencen, pen:) dimulai dari tahun 1911 M hingga sampai sekarang (maksudnya hingga tahun 1939, sewaktu Raja Haji Muhammad Yunus Ahmad, riwayat dalam Peringatan, pen:).

''Di Penyengat rupanya dahulu telah menjadi satu negeri yang mempunyai beberapa orang tabib yang masyhur di antaranya banyak orang masih ingat akan kebijakan Thabib Engku Haji Daud P", demikianlah tulisan Raja Haji Muhammad Yunus Ahmad dalam Peringatan.

Daripada beberapa maklumat yang telah dikumpulkan, Raja Ahmad Thabib menghasilkan beberapa buah karangan, di antaranya ialah: 1. Syair Nasihat Pengajaran Untuk Memelihara Diri, 2. Syair Tuntutan Kelakuan, 3. Risalah Rumah Ubat Raja Haji Ahmad Pulau Penyengat Riau.

Praktik penelitian langsung di lokasi yang saya lakukan di rumah Raja Abdullah Hakim (adik beradik Raja Ahmad Thabib), di Pulau Penyengat, Riau, pada 2 Syaaban 1418 H/2 Disember 1997 M ternyata lebih banyak bahan untuk dibicarakan. Penelitian saya lakukan bersama salah seorang waris tersebut bernama Tengku Fuad bin Tengku Muhammad Yusuf dapat mengesan beberapa buah risalah ilmu perubatan yang ditinggalkan oleh Raja Ahmad Thabib masih dalam bentuk manuskrip dan catatan tersimpan dalam rumah saudaranya itu.

Sebenarnya jauh sebelum tarikh tersebut di atas, dalam tahun 1962 rumah tersebut memang tempat saya berulang alik. Beberapa buah kitab dalam koleksi Raja Abdullah Hakim tamat saya baca, namun ketika itu saya belum tahu membuat penilaian. Beberapa perkara mengenai perubatan Raja Ahmad Thabib saya perkenalkan sebagai berikut: Khasiat Dan Kaifiat Guna Ubat Tuan Brokdes Dan Tuan Setman Napal Negeri Holanda.

Walaupun karya ini disusun oleh Raja Sa'id bin al-Marhum Raja Ahmad, namun ia merupakan dokumen yang terdapat dalam Rumah Ubat Raja Ahmad Thabib Riau. Hanya ditemui berupa lembaran-lembaran, tetapi tarikh penulisan dapat dikesan ialah pada, 1 Muharam 1323 H bersamaan 7 Mac 1905 M sampai 29 Jamadilakhir 1336 H bersamaan 11 April 1918 M. Penulisan dilakukan di Penyengat Riau. Kandungan nama-nama ubat dalam bahasa asing dan kegunaannya.

Beberapa lembar membicarakan perubatan selain yang tersebut di atas, dapat dipastikan karangan Raja Ahmad Thabib, judul sebenar belum diketahui. Kandungannya membicarakan tentang nadi. Manuskrip yang tidak lengkap tersebut dijumpai dalam kitab Thaiyib al-Ihsan fi Thibb al-Insan karya Syeikh Ahmad al-Fathani. Dari sini dapat dipastikan bahawa Raja Ahmad Thabib sempat belajar kitab Thaiyib al-Ihsan fi Thibb al-Insan kepada Syeikh Ahmad al-Fathani kerana mulai kulit depan kitab tersebut hingga akhir terdapat catatan-catatan tulisan tangan Raja Ahmad Thabib. Sebagaimana manuskrip Raja Ahmad Thabib membicarakan nadi dan pemeriksaan penyakit melalui air kencing, dalam karya Syeikh Ahmad al-Fathani juga terdapat bahasan mengenainya.

Untuk mengetahui sedikit pengetahuan perubatan tradisional, untuk kita bandingkan dengan perubatan moden dan jalan bahasa klasik menurut gaya bahasa Melayu Riau, kiranya baik juga saya transliterasikan di antara kandungannya, ialah: "Sebermula jika orang laki-laki nadinya itu besar sebelah kanan, alamat sakit. Dan jika besar sebelah kiri, alamat sihat. Dan jika perempuan besar nadinya itu pada tangan kiri, alamat sakit. Dan jika besar tangan kanan, alamat sihat.

Tulisan Raja Ahmad Thabib selanjutnya, "Fasal Yang Pertama Pada Menyatakan Nadi Yang Bernama Zahabi: Jika ditekan perlahan-lahan, maka keras pukulnya di atas, alamat banyak angin panas dalam anggotanya.

Dan jika ditekan perlahan-lahan, maka ada pukulnya jatuh, barangkali terasa sedikit-sedikit, alamatnya paru-parunya kembang, banyak sejuk.

Dan jika ditekan perlahan-lahan, maka tidak ia memukul di atas, maka ada ia memukul di dalam sedikit-sedikit, alamat banyak balghamnya (balgham = lendir atau dahak, pen:) bercampur angin dan ketul balghamnya itu.

Dan Fasal Yang Kedua Pada Menyatakan Nadi Yang Bernama Turabi: Jika ditekan perlahan-lahan, maka ada pukulnya perlahan-lahan di atas, alamat ada angin sejuk, maka menjadi lesu tubuhnya. Dan jika ditekan keras, maka pukulnya pun keras, alamat ada angin panas pada tubuh.

Dan jika ditekan perlahan-lahan, maka pukulnya itu keras, alamat dalam perutnya terlalu sangat panas.

Dan jika ditekan perlahan-lahan, maka tiada sekali-kali ia memukul...'' (naskhah rosak, tidak dapat dibaca, pen:).

Ada pun pemeriksaan melalui air kencing Raja Ahmad Thabib menulis sebagai berikut, "Fasal Yang Ketiga Pada Menyatakan Melihat Kepada Air Kencing: Bermula jika warna air kencingnya itu kuning pertengahan alamat tabiatnya itu sederhana. Dan jika sangat kuningnya, hampir kepada merah, alamat panas tubuhnya.

Dan jika warna itu sangat merahnya, alamat sakitnya itu di dalam dada, tetapi sejuk. Dan jika warnanya merah bercampur kuning, alamat panas sekalian badan, dan angin, dan demam, dan terkadang yang demikian itu lendir dan darah, maka bisa, serba salah. Tidur pun tidak boleh. Jika tidak boleh, panas, kencing sakit, huap semuanya sampai ke hati.

Dan jika warnanya merah semua, lagi cair, alamat hangus segala badan, darah dan tulang di dalam badan semuanya buruk. Dan tempat kencing sudah luka, ke sungai kecil sakit dan terkadang keluar nanah, atau darah, atau keluar kura kuning-kuning. Dan tiada boleh tidur dan bisa ari-ari. Dan jika warnanya merah atau pekat, alamat luka tempat kencing dan demam siang malam, dan kurus badannya. Tiada boleh tidur, dan hatinya rosak. Lagi tabiatnya ketakutan sentiasa seperti gila. Dan batuk selama-lamanya kemudian keluar darah ... "

Di antara jenis ubat yang dicipta oleh Raja Ahmad Thabib yang paling mujarab dan pada satu ketika dulu pernah terkenal di Riau, Singapura dan Johor terutama dalam lingkungan masyarakat Melayu ialah dinamakan Syarbat Zanjabil. Syarbat Zanjabil ialah sejenis ubat berupa cairan yang dibuat daripada bahan rempah-rempah, berbau agak harum dan dijual dalam botol. Ubat tersebut telah banyak bukti boleh menyembuhkan pelbagai penyakit dalaman seumpama sakit jantung, sakit tulang, sakit kuning dan lain-lain. Selain Syarbat Zanjabil dalam koleksi Raja Ahmad Thabib juga dikenali dua jenis minyak yang dipusakai turun temurun oleh keluarga tersebut, kedua-dua minyak itu ialah Minyak Mengkasar dan Minyak Bau. Kedua-dua jenis minyak tersebut berfungsi untuk jenis sakit luar, seumpama kembung perut, disengat binatang berbisa, bahkan kedua-duanya juga berfungsi untuk ubat kerasukan, kekejangan dan lain-lain.

Ada lagi satu kepakaran Raja Ahmad Thabib yang mungkin tidak dialami oleh pakar perubatan moden sekarang ini, kerana pada satu peristiwa Raja Ahmad Thabib pernah membedah pesakit hanya dengan sembilu (buluh yang ditajamkan seperti pisau). Peristiwa tersebut ketika itu di Pulau Penyengat dan Tanjungpinang belum terdapat peralatan perubatan moden. Diriwayatkan bahawa sebelum melakukan pembedahan yang mendesak dan mendadak Raja Ahmad Thabib menggambarkan pembedahan itu hanyalah untuk pertolongan sementara saja, kerana ketahanan pesakit hanya sekitar antara tujuh sampai sepuluh jam saja.

Untuk menyelamatkannya mesti dibawa ke Singapura supaya diberi ubat-ubat yang lebih sesuai. Pelayaran dari Tanjungpinang ke Singapura ketika itu memakan masa tujuh jam, bererti mesti memburu baki waktu tiga jam yang dikatakan beliau itu. Ternyata pesakit selamat ketika dibedah dan selanjutnya selamat pula dalam perawatan moden di Singapura. Cerita ini saya catat daripada ramai Kerabat Diraja Riau sejak tahun 1962, dan hingga sekarang yang menceritakan masih ada yang hidup, yang telah berumur melebihi 90 tahun.

Selasa, 19 Oktober 2010

Info. meminang dan bertuang (Adat resam Melayu)

MEMINANG DAN BERTUNANG
Setelah kata persetujuan dicapai oleh keluarga di pihak lelaki, wakil dari pihak lelaki yang biasanya dipilih dari kalangan orang tua-tua akan diutuskan oleh ibu bapa lelaki tersebut untuk mewakili mereka meminang anak dara yang telah dipilih. Biasanya, ibu bapa kepada anak dara tersebut tidak akan memberi jawapan yang muktamad kepada pihak yang datang meminang kerana mengikut adat, mereka sepatutnya diberi tempoh untuk memberi jawapan atau dipanggil bertangguh. Ini kononnya kerana hendak berpakat dengan ahli-ahli keluarga dan waris yang rapat, walaupun sebenarnya mereka memang sudah bersedia untuk menerima pinangan itu. Sebenarnya, adat bertangguh ini mencerminkan budaya Melayu yang amat berhati-hati dalam menentukan jodoh dan menunjukkan kesopanan dalam setiap tingkahlaku. Sudah menjadi rutin dalam kehidupan seharian masyarakat Melayu untuk tidak tergopoh-gapah dalam mengendalikan apa sahaja dan adalah menjadi pegangan bahawa setiap hal yang dilaksanakan perlu dijalankan dengan rapi dan tersusun mengikut adat yang ditetapkan.
Setelah tamat tempoh yang diberikan, biasanya 2 hari, namun ada juga yang sampai seminggu, pihak perempuan akan menghantar rombongan yang dihadiri oleh orang tua-tua yang mewakili pihak mereka untuk memberikan jawapan. Sekiranya pinangan diterima, pada pertemuan itu mereka akan berbincang tentang segala syarat berkenaan mas kahwin dan hantaran perbelanjaan majlis perkahwinan. Tarikh yang sesuai juga akan dipilih untuk melangsungkan perkahwinan. Sekiranya perkahwinan itu agak lambat dijalankan, pihak lelaki biasanya akan Menghantar Tanda terlebih dahulu kepada pihak perempuan.
Konsep Menghantar Tanda adalah diertikan sebagai “putus cakap”. Ini bermaksud pinangan dari pihak lelaki sudah pun diterima oleh pihak perempuan. Oleh yang demikian, maka penghantaran tanda daripada lelaki kepada anak dara yang bakal dikahwininya akan dilakukan melalui upacara bertunang. Upacara ini membawa pengertian bahawa anak dara tersebut sudah pun dimiliki dan kini dipanggil tunangan orang. Tanda yang dihantar oleh lelaki tersebut mengikut adat lazimnya adalah sebentuk cincin sahaja, iaitu cincin berbatu intan atau berlian, besarnya mengikut citarasa dan kemampuan ibu bapa lelaki tersebut. Namun begitu, bagi masyarakat Melayu, selain cincin, beberapa barangan lain turut diberikan seperti sepasang kain dan selendang, selipar atau sepatu, kuih-muih, manisan, dan yang paling utama dan dianggap sakral, sirih junjung. Semua hantaran akan dihias dengan cantik dan menarik serta akan dibalas oleh pihak perempuan sebagai tanda setuju menerima pinangan. Jumlah hantaran yang dihantar oleh pihak lelaki akan dibuat dalam angka ganjil dan dibalas lebih oleh pihak perempuan, selalunya sebanyak dua dulang. Contohnya, jika pihak lelaki memberikan 7 hantaran dulang, biasanya pihak perempuan akan membalas 9 dulang. Hantaran dari pihak perempuan biasanya berupa sirih junjung, sepersalinan baju melayu, capal dan kuih-muih.
Sekiranya dalam tempoh menunggu diijabkabulkan, ikatan pertunangan diputuskan oleh pihak lelaki, maka cincin dan segala barang hantaran tidak boleh diminta semula dari pihak perempuan. Berbeza pula halnya jika ikatan pertunangan diputuskan oleh pihak perempuan. Jika ia diputuskan tanpa sebarang sebab yang dapat diterima umum, maka pihak perempuan hendaklah mengembalikan semula segala hantaran yang telah diberikan oleh pihak lelaki itu dalam nilai sekali ganda banyaknya atau harganya.
Selain dari adat pertunangan yang disebutkan di atas, terdapat 2 lagi cara pertunangan yang juga wujud dalam adat resam Melayu, iaitu :
•  Pertunangan yang dilakukan oleh ibu bapa kedua-dua pihak sewaktu anak mereka masih kecil lagi, dan ini tidak memerlukan penghantaran tanda. Hal ini berlaku mungkin kerana ikatan persahabatan yang erat dan mesra di antara ibu bapa kedua belah pihak dan ikatan itu diharapkan dapat merapatkan lagi ikatan silaturrahim antara mereka. Pertunangan yang demikian biasanya dihormati dan dilangsungkan sehingga kedua-dua anak itu berkahwin.
•  Pertunangan mengikut wasiat salah seorang daripada ibu bapa yang telah meninggal dunia di antara dua buah keluarga. Ini juga tidak memerlukan penghantaran tanda dan biasanya diakhiri dengan ikatan perkahwinan.
MAJLIS PERKAHWINAN PERKAHWINAN
Di antara kesemua adat resam orang Melayu, upacara atau aturan yang berhubung dengan perkara nikah kahwin adalah sesuatu yang amat diambil berat dan dianggap penting. Ia akan dijalankan secara besar-besaran dan melibatkan kesemua anggota masyarakat setempat yang dikenali sebagai penduduk sekampung serta seluruh sanak saudara. Oleh hal yang demikian, adat ini dikategorikan sebagai adat yang paling rumit dilaksanakan kerana memerlukan modal yang banyak untuk menjalankan kenduri kendara, majlis persandingan dan lain-lain upacara di samping memerlukan tenaga kerja yang ramai dan memakan masa yang panjang. Dalam adat nikah kahwin ini, bagi masyarakat Melayu, terdapat 3 fasa yang perlu dilalui sebelum sesebuah rumahtangga didirikan dan ia merupakan suatu adat yang perlu dipatuhi bagi melengkapkan sesuatu perkahwinan.


Info. Tentang Kabupaten Lingga

Kabupaten LinggaPDFCetakE-mail
Kondisi Umum
Kabupaten Lingga merupakan kabupaten termuda di Provinsi Kepulauan Riau setelah lepas dari Kabupaten Kepulauan Riau sejak Mei 2004. Beribukotakan Daik namun lebih dikenal dengan sebutan “Negeri Segantang Lada”. Daerah ini terdiri dari tiga gugusan pulau besar, yang sering disebut dengan istilah selingsing (Senayang, Lingga dan Singkep).
Kabupaten Lingga memiliki sebaran terumbu karang yang hampir merata di setiap pulaunya dengan perkiraan total hamparan mencapai sekitar 15.178 Ha. Oleh karenanya, 85% penduduk Pulau Senayang dan Lingga menggantungkan hidupnya pada terumbu karang baik secara langsung maupun tidak. Untuk itu, perlu suatu pengelolaan ekosistem dalam pemanfaatan sumberdaya yang berkelanjutan.
Karena perannya tersebut, Pulau Senayang dan Lingga ketika msih berada di Kabupaten Kepulauan Riau ditetapkan sebagai Kawasan Konservasi Laut Daerah melalui SK Bupati Kepulauan Riau No. 71/III/2002 tentang Penetapan Wilayah Pengelolaan Terumbu Karang.

Letak Geografis
Secara geografis, KKLD Senayang dan Lingga berada diantara 103041’03,37” - 105017’04,15” LU dan 0030’07,21” - 3052’28,41” BT.sementara secara administratif, kabupaten ini berbatasan dengan Kecamatan Galang, Kota Batam dan Laut Cina Selatan di sebelah utara, sebelah timur dengan Lau Cina Selatan, sebelah selatan dengan Laut Bangka dan Selat Berhala, dan sebelah barat dengan Laut Indragiri.

Aksesibilitas
Tidak sulit untuk mengunjungi Kabupaten Lingga karena transportasi laut telah cukup memadai, dimana banyak perusahaan pelayaran swasta yang mengoperasikan ferry penumpamg. Pelayaran dengan kapal penyeberangan (ferry) dari Pelabuhan Tanjung Pinang di Pulau Bintan ke Pulau Singkep hanya memakan waktu selama 3 jam. Selanjutnya untuk pergi ke Diak sebagai ibu kota kabupaten, harus berganti kapal dan menambah 1 jam lagi pelayaran.

Iklim
Senayang dan Lingga dipengaruhi oleh empat musim lokal, yaitu musim utara, selatan, timur dan barat. Musim utara paling berpengaruh baik terhadap lingkungan maupun dampaknya kepada kehidupan manusia. Klimatologi pada umumnya beriklim basah dengan curah hujan per tahun rata-rata sekitar 2.214 mm dengan jumlah hari hujan sebanyak 110. Temperatur terendah 220C dan tertinggi 320C dengan kelembaban udara 85%.

Kondisi Perairan
Perairan di sekitar wilayah Senayang dan Lingga umumnya mempunyai kedalaman yang relative dangkal yaitu sekitar 40 m dengan dasar lumpur berpasir dan berkarang. Salinitas perairan daerah ini antara 28%-35%. Kecepatan arus dan perbedaan pasang surut tidak sebesar di Selat Malaka. Perairan daerah ini dipengaruhi oleh massa air yang datang dari Laut Cina Selatan dan Laut Jawa.

Kondisi Ekosistem Perairan
Spesies-spesies bakau yang paling dominan dijumpai adalah Rhizophora apiculata, Sonneratia alba, Avicennia marina, Bruguiera gymnorrhiza, Aegiceras corniculatum, dan Pempis acidula. Di dalam ekosistem hutan bakau hidup berbagai fauna seperti kera, buaya, ular bakau, dan beragam burung.
Di kawasan perairan ditemukan keanekaragaman jenis karang yang cukup tinggi terutama dari genus Acropora. Jenis karang yang ditemukan adalah coral submassiveAcropora tabulateAcropora branching, Acropora digitata, dan coral mushroom.
Jenis ikan yang banyak ditemukan di perairan adalah tenggiri, cakalang, sunu, kerapu, hiu, selar, dan lain-lain. Ikan hias menjadi favorit untuk diekspor adalah ikan ekor kuning (Caesio sp).
Lumba-lumba dan duyung adalah jenis mamalia yang masih bisa dijumpai di sekitar Kepulauan Riau. Kehadirannya dianggap suatu hal yang menggembirakan karena bisa menjdi hiburan dan tontonan sehari-hari. Lumba-lumba yang sering dijumpai adalah lumba-lumba hidung botol (Bottle-nose Dolphin).
Biota lain yang sering dijumpai adalah kima, gurita, sotong dan kuda laut.

Kondisi Sosial Ekonomi dan Budaya
Jumlah penduduk pada tahun 2001 di lima desa Kecamatan Senayang sebanyak 3.454 iwa, dan di dua desa Kecamatan Lingga sebanyak 1.917 jiwa. Kegiatan ekonomi Kabupaten Lingga ditopang oleh hasil perikanan yang menyumbangkan 46%. Oleh karenanya sangat wajar, bila industri perkapalan tradisional (pompong) cukup tumbuh dengan baik. Pengrajin telah menggunakan peralatan semi modern dengan teknologi pembuatan secara turun temurun.
Beberapa etnis yang tinggal di daerah ini adalah suku Melayu, Cina, Flores, Buton, Minang, dan Bugis. Etnis terbesar adalah Melayu, dengan agama Islam yang kuat.

Mata Pencaharian
Penduduk di Pulau Lingga umumnya hidup dari bercocok tanam terutama perkebunan, seperti karet, kelapa, lada, cengkeh, kopi, coklat, dan sagu. Sementara penduduk Pulau Senayang, mayoritas bekerja sebagai nelayan. Berbeda den gan Pulau Lingga dan Senayang, penduduk Pulau Singkep akan bekerja sebagai pendulang emas hitam ketika karet tidak bisa lagi disadap atau laut sedang sulit dilayari.

Potensi Perikanan
Potensi perikanan yang cukup tinggi dapat dilihat dari teridentifikasinya jenis ikan ekonomis yang ditangkap nelayan seperti ikan tenggiri, sunu, kerapu, selar, dan lain-lain. Kegiatan perikanan lainnya adalah budidaya, yang dilakukan sebagai kegiatan sampingan nelayan bubu. Adapun kegiatan budidayanya adalah karamba dan rumput laut.
Budidaya karamba lebih cenderung pada penangkaran hasil tangkap bubu yang belum cukup ukuran. Jenis ikan yang menjadi primadona untuk dibesarkan anata lain ikan sunu, ketarap, dan gelam.
Beberapa jenis ikan hias yang terdapat di Kepulauan Riau menjadi komoditas ekspor yang cukup potensial untuk mendongkrak perekonomian masyarakat. Caesio sp, Caranx sp, Ephinephelus sp, Amphiprion sp adalah jenis-jenis ikan hias yang sangat populer di kalangan masyarakat nelayan, akan tetapi bagi mereka Caesio sp lebih favorit untuk diekspor.

Pendekatan Konservasi
Pendekatakan konservasi dalam penetapan kawasan konservasi adalah sebaran terumbu karang yang hampir merata di setiap pulaunya dengan perkiraan total hamparan mencapai sekitar 15.178 Ha. Luasnya hamparan terumbu karang tersebut mempunyai andil besar dalam mendukung kehidupan berbagai jenis biota laut ekonomis penting.

Pariwisata
Kabupaten Lingga memiliki banyak lokasi yang potensial untuk dikembangkan sebagai objek wisata, diantaranya adalah:
Pulau Kapal, dengan pasir putih dan penyu sisiknya.
Selat Kongko dan Kongki, dengan hutan mangrove dan buayanya.
Terumbu Cawan, dengan karang dan burung camarnya.
Ulu Temiang, dengan sungainya yang berliku-liku dan berhutan bakau lebat di kiri dan kanan serta memberikan pengalaman yang menakjubkan bagi wisatawan. Sebagai tujuan akhir dari petualangan menesuluri Sungai Ulu kita akan menikmati “Mangrove Track” dengan kendaraan pompongdan akan sampai di perkampungan yang damai dengan buah khasnya, yaitu durian.
Gunung Diak, merupakan gunung yang cukup terkenal di Lingga dengan puncaknya yang bercabang dua dan sering merupakan pusat budaya Melayu pada saatnya dan juga sebagai ibukota Kecamatan Lingga.
Pulau Benan, memiliki goa dan benteng peningggalan Jepang yang terletak di bukit pulau tersebut yang dapat dijadikan daya tarik wisata sejarah. Di pulau ini juga hidup beribu-ribu kelelawar, yang akan memberikan pemandangan menakjubkan pada saat mereka pulang di sore hari.
Klenteng Tua, terdapat di Centeng dan Sambau Desa Limbung merupakan tempat yang selalu dikunjungi oleh para pendatang dari luar Desa Limbung pada saat hari raya Tionghoa setiap tahunnya.
Untuk Wisata Bahari, Senayang-Lingga memiliki lokasi penyelaman seperti Pulau Mamut, Pulau Perangoi, Pulau Enan, Pulau Katang, dan beberapa pulau lainnya.
Wisata Sejarah, sebagai pusat Kerajaan Melayu, wilayah Kepulauan Riau banyak meninggalkan situs sejarah yang layak untuk dijadikan kawasan wisata sejarah, Pulau Lingga dengan luas sekitar 8.268,7 km2  memiliki situs sejarah terbanyak dan dapat dijadikan sebagai kawasan wisata sejarah.

Kamis, 23 September 2010

Tentang Kabupaten Lingga

Kabupaten LinggaPDFCetakE-mail
Kondisi Umum
Kabupaten Lingga merupakan kabupaten termuda di Provinsi Kepulauan Riau setelah lepas dari Kabupaten Kepulauan Riau sejak Mei 2004. Beribukotakan Daik namun lebih dikenal dengan sebutan “Negeri Segantang Lada”. Daerah ini terdiri dari tiga gugusan pulau besar, yang sering disebut dengan istilah selingsing (Senayang, Lingga dan Singkep).
Kabupaten Lingga memiliki sebaran terumbu karang yang hampir merata di setiap pulaunya dengan perkiraan total hamparan mencapai sekitar 15.178 Ha. Oleh karenanya, 85% penduduk Pulau Senayang dan Lingga menggantungkan hidupnya pada terumbu karang baik secara langsung maupun tidak. Untuk itu, perlu suatu pengelolaan ekosistem dalam pemanfaatan sumberdaya yang berkelanjutan.
Karena perannya tersebut, Pulau Senayang dan Lingga ketika msih berada di Kabupaten Kepulauan Riau ditetapkan sebagai Kawasan Konservasi Laut Daerah melalui SK Bupati Kepulauan Riau No. 71/III/2002 tentang Penetapan Wilayah Pengelolaan Terumbu Karang.

Letak Geografis
Secara geografis, KKLD Senayang dan Lingga berada diantara 103041’03,37” - 105017’04,15” LU dan 0030’07,21” - 3052’28,41” BT.sementara secara administratif, kabupaten ini berbatasan dengan Kecamatan Galang, Kota Batam dan Laut Cina Selatan di sebelah utara, sebelah timur dengan Lau Cina Selatan, sebelah selatan dengan Laut Bangka dan Selat Berhala, dan sebelah barat dengan Laut Indragiri.

Aksesibilitas
Tidak sulit untuk mengunjungi Kabupaten Lingga karena transportasi laut telah cukup memadai, dimana banyak perusahaan pelayaran swasta yang mengoperasikan ferry penumpamg. Pelayaran dengan kapal penyeberangan (ferry) dari Pelabuhan Tanjung Pinang di Pulau Bintan ke Pulau Singkep hanya memakan waktu selama 3 jam. Selanjutnya untuk pergi ke Diak sebagai ibu kota kabupaten, harus berganti kapal dan menambah 1 jam lagi pelayaran.

Iklim
Senayang dan Lingga dipengaruhi oleh empat musim lokal, yaitu musim utara, selatan, timur dan barat. Musim utara paling berpengaruh baik terhadap lingkungan maupun dampaknya kepada kehidupan manusia. Klimatologi pada umumnya beriklim basah dengan curah hujan per tahun rata-rata sekitar 2.214 mm dengan jumlah hari hujan sebanyak 110. Temperatur terendah 220C dan tertinggi 320C dengan kelembaban udara 85%.

Kondisi Perairan
Perairan di sekitar wilayah Senayang dan Lingga umumnya mempunyai kedalaman yang relative dangkal yaitu sekitar 40 m dengan dasar lumpur berpasir dan berkarang. Salinitas perairan daerah ini antara 28%-35%. Kecepatan arus dan perbedaan pasang surut tidak sebesar di Selat Malaka. Perairan daerah ini dipengaruhi oleh massa air yang datang dari Laut Cina Selatan dan Laut Jawa.

Kondisi Ekosistem Perairan
Spesies-spesies bakau yang paling dominan dijumpai adalah Rhizophora apiculata, Sonneratia alba, Avicennia marina, Bruguiera gymnorrhiza, Aegiceras corniculatum, dan Pempis acidula. Di dalam ekosistem hutan bakau hidup berbagai fauna seperti kera, buaya, ular bakau, dan beragam burung.
Di kawasan perairan ditemukan keanekaragaman jenis karang yang cukup tinggi terutama dari genus Acropora. Jenis karang yang ditemukan adalah coral submassiveAcropora tabulateAcropora branching, Acropora digitata, dan coral mushroom.
Jenis ikan yang banyak ditemukan di perairan adalah tenggiri, cakalang, sunu, kerapu, hiu, selar, dan lain-lain. Ikan hias menjadi favorit untuk diekspor adalah ikan ekor kuning (Caesio sp).
Lumba-lumba dan duyung adalah jenis mamalia yang masih bisa dijumpai di sekitar Kepulauan Riau. Kehadirannya dianggap suatu hal yang menggembirakan karena bisa menjdi hiburan dan tontonan sehari-hari. Lumba-lumba yang sering dijumpai adalah lumba-lumba hidung botol (Bottle-nose Dolphin).
Biota lain yang sering dijumpai adalah kima, gurita, sotong dan kuda laut.

Kondisi Sosial Ekonomi dan Budaya
Jumlah penduduk pada tahun 2001 di lima desa Kecamatan Senayang sebanyak 3.454 iwa, dan di dua desa Kecamatan Lingga sebanyak 1.917 jiwa. Kegiatan ekonomi Kabupaten Lingga ditopang oleh hasil perikanan yang menyumbangkan 46%. Oleh karenanya sangat wajar, bila industri perkapalan tradisional (pompong) cukup tumbuh dengan baik. Pengrajin telah menggunakan peralatan semi modern dengan teknologi pembuatan secara turun temurun.
Beberapa etnis yang tinggal di daerah ini adalah suku Melayu, Cina, Flores, Buton, Minang, dan Bugis. Etnis terbesar adalah Melayu, dengan agama Islam yang kuat.

Mata Pencaharian
Penduduk di Pulau Lingga umumnya hidup dari bercocok tanam terutama perkebunan, seperti karet, kelapa, lada, cengkeh, kopi, coklat, dan sagu. Sementara penduduk Pulau Senayang, mayoritas bekerja sebagai nelayan. Berbeda den gan Pulau Lingga dan Senayang, penduduk Pulau Singkep akan bekerja sebagai pendulang emas hitam ketika karet tidak bisa lagi disadap atau laut sedang sulit dilayari.

Potensi Perikanan
Potensi perikanan yang cukup tinggi dapat dilihat dari teridentifikasinya jenis ikan ekonomis yang ditangkap nelayan seperti ikan tenggiri, sunu, kerapu, selar, dan lain-lain. Kegiatan perikanan lainnya adalah budidaya, yang dilakukan sebagai kegiatan sampingan nelayan bubu. Adapun kegiatan budidayanya adalah karamba dan rumput laut.
Budidaya karamba lebih cenderung pada penangkaran hasil tangkap bubu yang belum cukup ukuran. Jenis ikan yang menjadi primadona untuk dibesarkan anata lain ikan sunu, ketarap, dan gelam.
Beberapa jenis ikan hias yang terdapat di Kepulauan Riau menjadi komoditas ekspor yang cukup potensial untuk mendongkrak perekonomian masyarakat. Caesio sp, Caranx sp, Ephinephelus sp, Amphiprion sp adalah jenis-jenis ikan hias yang sangat populer di kalangan masyarakat nelayan, akan tetapi bagi mereka Caesio sp lebih favorit untuk diekspor.

Pendekatan Konservasi
Pendekatakan konservasi dalam penetapan kawasan konservasi adalah sebaran terumbu karang yang hampir merata di setiap pulaunya dengan perkiraan total hamparan mencapai sekitar 15.178 Ha. Luasnya hamparan terumbu karang tersebut mempunyai andil besar dalam mendukung kehidupan berbagai jenis biota laut ekonomis penting.

Pariwisata
Kabupaten Lingga memiliki banyak lokasi yang potensial untuk dikembangkan sebagai objek wisata, diantaranya adalah:
Pulau Kapal, dengan pasir putih dan penyu sisiknya.
Selat Kongko dan Kongki, dengan hutan mangrove dan buayanya.
Terumbu Cawan, dengan karang dan burung camarnya.
Ulu Temiang, dengan sungainya yang berliku-liku dan berhutan bakau lebat di kiri dan kanan serta memberikan pengalaman yang menakjubkan bagi wisatawan. Sebagai tujuan akhir dari petualangan menesuluri Sungai Ulu kita akan menikmati “Mangrove Track” dengan kendaraan pompongdan akan sampai di perkampungan yang damai dengan buah khasnya, yaitu durian.
Gunung Diak, merupakan gunung yang cukup terkenal di Lingga dengan puncaknya yang bercabang dua dan sering merupakan pusat budaya Melayu pada saatnya dan juga sebagai ibukota Kecamatan Lingga.
Pulau Benan, memiliki goa dan benteng peningggalan Jepang yang terletak di bukit pulau tersebut yang dapat dijadikan daya tarik wisata sejarah. Di pulau ini juga hidup beribu-ribu kelelawar, yang akan memberikan pemandangan menakjubkan pada saat mereka pulang di sore hari.
Klenteng Tua, terdapat di Centeng dan Sambau Desa Limbung merupakan tempat yang selalu dikunjungi oleh para pendatang dari luar Desa Limbung pada saat hari raya Tionghoa setiap tahunnya.
Untuk Wisata Bahari, Senayang-Lingga memiliki lokasi penyelaman seperti Pulau Mamut, Pulau Perangoi, Pulau Enan, Pulau Katang, dan beberapa pulau lainnya.
Wisata Sejarah, sebagai pusat Kerajaan Melayu, wilayah Kepulauan Riau banyak meninggalkan situs sejarah yang layak untuk dijadikan kawasan wisata sejarah, Pulau Lingga dengan luas sekitar 8.268,7 km2  memiliki situs sejarah terbanyak dan dapat dijadikan sebagai kawasan wisata sejarah.

Minggu, 19 September 2010

Sejarah. Benteng Kerajaan Riau Lingga

Karya Tulis Para Peneliti Balai Arkeologi Medan

Just another WordPress.com weblog

BENTENG TANAH DI PULAU LINGGA

Repelita Wahyu Oetomo
Balai Arkeologi Medan
Kerajaan Lingga telah dikenal sebagai salah satu kerajaan Melayu pada abad ke-16. Pada masa itu kerajaan-kerajaan di Semenanjung Malaka disibukkan dengan dominasi Portugis di jalur perdagangan tersebut. Beberapa kali terjadi perlawanan dari kerajaan pribumi, walaupun akhirnya dapat dipatahkan. Keberadaan Portugis berakhir seiring dengan kedatangan Belanda. Namun hal ini tidak menjadikan keadaan lebih baik, ditambah lagi dengan datangnya Inggris. Perebutan pengaruh antara Belanda dan Inggris terhadap Selat Malaka turut memperkeruh keadaan sehingga mengakibatkan pecahnya kerajaan-kerajaan Melayu. Tidak banyak yang dapat dilakukan kerajaan-kerajan Melayu dalam penentuan kebijakan ekonomi perdagangan pada masa itu akibat politik adu domba yang diterapkan oleh Belanda. Hal inilah yang perlahan-lahan menggerogoti perekonomian kerajaan sehingga akhirnya mengakibatkan keruntuhannya.
Tingginya tingkat konflik di Selat Malaka, mengakibatkan kerajaan-kerajaan harus melengkapi keberadaanya dengan berbagai sistem pertahanan. Sistem pertahanan keamanan yang diterapkan oleh Kerajaan Lingga diantaranya adalah membangun pos-pos pertahanan, yang sampai saat ini masih dapat kita jumpai yaitu berupa tanggul-tanggul tanah yang dilengkapi dengan beberapa meriam untuk menjaga akses masuk ke kerajaan. Tanggul-tanggul tanah itu diantaranya adalah di Pulau Mepar, Bukit Cening, Kuala Daik dan tanggul tanah yang terdapat di Pabean.
Kota Kerajaan Lingga berpusat di Daik, yang saat ini merupakan ibukota Kecamatan Lingga, termasuk dalam wilayah Kabupaten Kepulauan Riau, Propinsi Riau. Secara astronomis Kelurahan Daik-Lingga terletak antara 00 13’ — 00 14’ LS dan 1040 36’ — 1040 41 BT (Rencana Kota Daik, 1991). Sampai saat ini tinggalan arkeologis di bekas Kerajaan Lingga cukup lengkap, diantaranya adalah beberapa bangunan monumental, seperti; mesjid, makam, bekas istana, benteng-benteng pertahanan, dan tinggalan artefaktual lainnya. Dalam tulisan ini akan dibahas mengenai beberapa bangunan tanah yang merupakan pos-pos pertahanan sebagai bagian dari suatu sistem pertahanan di Kerajaan Lingga.

Peta situasi Pulau Lingga, Kec. Lingga, Kab. Kepulauan Riau
1. Benteng Tanah Bukit Cening         
Benteng tanah ini berjarak sekitar 3 km sebelah selatan ibukota Kecamatan Lingga, tepatnya di Kampung Seranggo, Kelurahan Daik. Pada jarak satu kilometer terakhir menuju benteng, merupakan jalan setapak yang hanya dapat dicapai dengan jalan kaki. Benteng ini dibangun di atas bukit, menghadap ke tenggara, dengan pintu masuk berada di sebelah utara. Bagian selatan benteng ini adalah tebing yang menghadap ke Selat Kolombok, sebelah utara tampak Gunung Daik dan Sepincan, baratdaya tampak Pulau Mepar, sedangkan sebelah barat-baratlaut merupakan daratan dan lokasi istana Sultan Lingga. Benteng ini merupakan bangunan tanah yang dibangun dengan meninggikan dan mengeraskan tanah, menyerupai tanggul, berdenah persegi empat, berukuran 32 m X 30 m, tebal sekitar 4 meter dengan ketinggian mencapai 1 – 1,5 m. Disebelah kiri, kanan dan depan benteng ini terdapat parit yang sebagian telah tertutup tanah. Melalui benteng ini pandangan bebas mengawasi daerah sekelilingnya.
Di dalam benteng ini terdapat sebanyak 19 buah meriam yang diletakkan berjajar di sisi selatan. Meriam-meriam di benteng ini dapat diklasifikasikan sebagai meriam berukuran sedang dan besar, dengan ukuran panjang antara 2 — 2,80 meter. Lubang laras berdiameter 8 — 12 cm. Pada meriam-meriam tersebut terdapat pertulisan yang terletak di bagian pangkal atau pada pengaitnya, sebagian dalam keadaan aus. Angka-angka tahun yang terdapat pada meriam itu adalah 1783 dan 1797, sedangkan tanda-tanda lain meliputi huruf P. HB. X. O. F. dan VOC.
2. Benteng Tanah Kuala Daik
Terletak di tepi muara Sungai Daik, sekitar 2 km dari Kampung Cina. Untuk mencapai lokasi ini dapat ditempuh dengan menggunakan sampan. Masyarakat menyebut tempat ini sebagai Tanjung Meriam, karena menurut informasi, di tempat tersebut dulu banyak ditemukan meriam. Sisa bangunan yang ada saat ini hanyalah susunan batu yang menjorok ke laut. Keletakan benteng ini sangat strategis, yaitu berada di pintu masuk ke pusat kota yang dapat dilalui dengan menggunakan kapal. Kerusakan benteng tersebut kemungkinan akibat gerusan air laut yang semakin tinggi pada saat pasang, akibat pengendapan Lumpur pada muara Sungai Daik.
3. Benteng Tanah di Pabean
Benteng tanah ini terletak di pusat Kota Kecamatan Lingga, di sebelah utara Kantor Kecamatan Lingga dan tidak jauh dari arah aliran Sungai Daik. Kondisinya saat ini tidak beraturan, hampir rata dengan tanah akibat aktivitas penduduk disekitarnya. Lebar bangunan tanah saat ini mencapai 4 – 6 meter, dengan tinggi tidak lebih dari 1 meter. Berdasarkan sisa bangunan yang ada, benteng tersebut memanjang dari arah timur–barat. Bagian tengah benteng terputus, karena tepat pada bangunan ini digunakan sebagai pintu masuk ke halaman rumah penduduk. Menurut masyarakat, tempat ini merupakan Pabean pada masa lalu, tepatnya berada disekitar belokan aliran Sungai Daik. Pengamatan di lapangan menunjukkan di tempat tersebut permukaan tanahnya lebih rendah dan kondisinya berair. Di sekitarnya banyak ditemukan meriam yang saat ini diletakkan di alun-alun. Dua buah meriam yang terdapat di depan Mess Kecamatan memiliki keistimewaan, berbahan tembaga, berukuran panjang 3,35 m. Di bagian atas terdapat hiasan dan pertulisan / 8 / – O.
4. Benteng Tanah di Pulau Mepar    
Secara administratif Pulau Mepar termasuk dalam wilayah Desa Mepar, Kecamatan Lingga, berjarak sekitar 1 km dari Tanjung Butun. Untuk mencapai pulau ini ditempuh dengan menggunakan sampan dengan waktu tempuh sekitar 15 menit. Pulau tersebut saat ini dimanfaatkan masyarakat sebagai pemukiman dengan pusat aktivitasnya di sekitar dermaga. Di Pulau ini terdapat 5 buah bangunan tanah dan beberapa buah meriam yang saat ini terletak di sekitar perkampungan penduduk.
Tiga buah bangunan benteng terletak di selatan pulau, satu di sebelah barat, dan sisanya berada di utara (lihat gambar). Benteng I terletak di atas bukit, sebelah tenggara pulau. Benteng tersebut dibangun dari tanah yang dikeraskan, terlihat dari susunan tanah dan kerikil. Benteng tanah ini berukuran 25 m X 23 m, tebal dinding antara 2,5 – 3 meter dan tinggi antara 1 – 1,5 meter. Benteng ini dikelilingi oleh parit yang cukup dalam, di bagian pintu masuknya terdapat saluran yang kemungkinan digunakan untuk mengeluarkan air dari dalam benteng. Benteng I menghadap ke baratlaut, di sudut timurlaut dan utara terdapat kelebihan tanah (tonjolan) berukuran 2 – 3 meter, menyerupai bastion. Benteng terletak di tempat lebih tinggi, sehingga memudahkan pengawasan daerah sekitarnya. Melalui benteng I ini dapat diawasi Pulau Lingga yang berada di sebelah utaranya, dan Pulau Kolombok di sebelah selatan.
Benteng II dalam kondisi rusak, berdenah persegi empat, berjarak sekitar 5 meter dari garis pantai dan berada pada ketinggian 3 meter diatas permukaan laut. Benteng seluas sekitar 300 m2 ini, terletak di sebelah selatan pulau. Melalui benteng ini tampak Pulau Kolombok yang berada di sebelah selatannya.
Benteng III terletak di Kampung Hulu, berjarak sekitar 200 meter di sebelah baratdaya benteng II. Bangunan ini berjarak sekitar 20 meter dari garis pantai, dengan ketinggian sekitar 6 meter diatas permukaan laut. Bangunan ini berbentuk segitiga dengan luas sekitar 150 m2. Benteng IV terletak di kampung yang sama dengan benteng III, dengan jarak sekitar 200 meter dari benteng III. Benteng ini berbentuk persegi empat berukuran luas sekitar 300 m2, sedangkan benteng V terletak di kampung yang sama, berjarak sekitar 200 meter dari benteng IV, berbentuk persegi empat. Kondisi benteng-benteng tersebut saat ini rusak dan dipenuhi dengan tanaman liar.      
                                                                                                                                                                                      
5. Sistem Pertahanan di Kerajaan Lingga
Berdasarkan sumber-sumber tertulis Cina abad ke-15, disebut Pulau Lingga adalah karena gugusan gunung-gunung tampak menyerupai gigi naga (dragon teeth). Munculnya kata Ling kemungkinan berawal saat perantau Cina menginjakkan kakinya di Daik, mereka melihat gunung Daik yang bentuknya menyerupai gigi naga. Kemungkinan kedua adalah berhubungan dengan nama Kerajaan Kalingga yang berada di pantai timur India. Adapun kemungkinan ketiga adalah berkaitan dengan puncak Gunung Daik yang menyerupai phallus (alat kelamin laki-laki), yang dalam agama Hindu merupakan simbol Dewa Siwa (Groeneveldt, 1960).
Pulau Lingga terletak pada jalur perdagangan yang ramai. Dibandingkan dengan pulau-pulau lain keberadaan Pulau Lingga lebih menonjol, karena dari jarak yang cukup jauh tampak Gunung Daik. Hal ini memudahkan bagi para pedagang antar pulau yang menggunakannya sebagai sarana navigasi untuk mencapai pusat kota kerajaan. Pelaut menggunakan Gunung Daik sebagai orientasi, karena tepat pada titik 00 jarum kompas, akan dijumpai Muara sungai yang lurus dengan gunung Daik. Dengan mengikuti arah aliran Sungai Daik maka sampailah ke pusat kota Kerajaan Lingga. 
Bentuk dan ukuran benteng tanah di Kerajaan Lingga tidak sebesar atau seluas bangunan benteng yang banyak kita jumpai. Benteng tanah ini lebih tepat disebut sebagai pos-pos pertahanan. Pertahanan keamanan lebih banyak didukung oleh pos-pos, yang merupakan bagian dari suatu sistem pertahanan keamanan pada waktu itu. Pos-pos keamanan ini dirancang untuk saling dukung-mendukung menjaga akses masuk ke pusat kota kerajaan. Kapal-kapal yang akan mencapai Pulau Lingga umumnya berlayar melalui sebelah barat pulau, karena merupakan jalur perdagangan yang ramai, sehingga menjadikan jalur tersebut aman dari perompak. Penyebab lainnya adalah karena jarak pencapaianya lebih dekat dengan ombak tidak seganas Laut China Selatan.
Benteng IV dan III merupakan lapis pertama pertahanan bagi kapal yang menuju ke pusat Kerajaan Lingga melalui Tanjung Butun. Disusul kemudian oleh pertahanan benteng V dan benteng I. Sedangkan bagi kapal yang memilih mengelilingi Pulau Mepar, Benteng III merupakan lapis pertama pertahanan, disusul benteng ke II dan benteng I. Tampaknya Benteng I dan III memiliki peran yang cukup penting mengingat fungsi benteng ini menjaga beberapa sisi pulau. Benteng III didesain berbentuk segitiga untuk menjaga sisi barat dan selatan, sedangkan benteng I berfungsi untuk menjaga 3 sisi yaitu sebelah utara, selatan dan timur Pulau. Keletakan benteng tersebut pada tempat yang tinggi menjadikan benteng I mampu mengawasi beberapa sudut, sehingga tumpuan pertahanan keamanan benteng Pulau Mepar terletak pada benteng I. Melalui benteng I tembakan dapat diarahkan ke Tanjung Butun atau ke Selat Kolombok (lihat peta). Tonjolan tanah di sisi utara dan timur yang menyerupai bastion kemungkinan berfungsi untuk meletakkan meriam khusus, berukuran lebih besar (?). Sudut-sudut tersebut dilengkapi meriam yang diarahkan ke Tanjung Butun atau ke arah kapal yang melintas Selat Kolombok.
Fungsi pertahanan benteng I didukung juga dengan benteng Bukit Cening, yaitu mengantisipasi kapal-kapal yang lolos dari Benteng Pulau Mepar untuk mendekati Kuala Daik. Meriam-meriam yang saat ini terdapat di Bukit Cening menurut informasi ditemukan juga di areal antara Bukit Cening dan Kuala Daik. Apabila kapal telah sampai didepan pintu masuk (Kuala Daik) maka pertahanan dilakukan oleh pos-pos di Kuala Daik. Dan apabila berhasil lolos pertahanan/penyerangan dilakukan dengan meriam-meriam yang ada di sepanjang tepi Sungai Daik. Menurut informasi beberapa meriam yang saat ini terdapat di kantor polisi dan lain-lain diangkat dari pinggiran Sungai Daik. Bahkan beberapa meriam sampai saat ini masih ada yang belum terangkat dari dasar sungai.
Pertahanan terakhir kemungkinan adalah benteng tanah yang terdapat di Pabean. Beberapa meriam yang saat ini berada di sekitar alun-alun menurut informasi ditemukan di sekitar Pabean. Bahkan beberapa buah meriam saat dilakukan penelitian tergeletak di halaman depan rumah penduduk. Meriam-meriam tersebut saat ini diletakkan di sekitar alun-alun, menghadap jalan. Dua buah meriam yang berada di depan Mess Pemda, apabila ditilik dari bentuk, ukuran, dan bahan bakunya tampaknya sangat spesifik. Pada masa Kesultanan Riau Lingga kedua meriam itu selain untuk mendukung pertahanan juga digunakan untuk hal-hal bersifat khusus, misalnya sebagai tanda penobatan raja, upacara penyambutan tamu kehormatan, atau untuk upacara pemakaman raja. Lombard menyatakan bahwa meriam-meriam seperti itu pada masanya dianggap sebagai jimat jenis baru, terutama untuk menampakkan kewibawaan raja (Lombard,2000: 209–212).
 
6. Benteng Tanah Lingga: Sistem Pertahanan Belanda
Sejarah mencatat bahwa kekuasaan para sultan pada akhirnya berada di bawah dominasi Belanda. Perdagangan yang menjadi tulang punggung perekonomian kerajaan dan hasil-hasil perdagangan yang dilakukan daerah-daerah pada akhirnya harus dijual pada Belanda dengan harga yang telah ditentukan, terutama barang-barang yang bernilai tinggi di pasaran dunia. Para sultan dipaksa menandatangani perjanjian-perjanjian yang memberatkan. Setiap pergantian sultan merupakan suatu kesempatan baru bagi Belanda untuk mengadakan dan memperbaharui perjanjian dengan ikatan-ikatan yang lebih berat. Hal inilah yang mengakibatkan beberapa sultan membangkang.
Tampaknya sistem pertahanan keamanan yang terdapat di Kerajaan Lingga merupakan suatu sistem pertahanan semu. Pertahanan keamanan hanya dipakai oleh kerajaan apabila kedatangan “musuh”, yaitu perompak yang mengganggu perdagangan Belanda, karena pada hakekatnya saat itu sesama Bangsa Melayu merasa memiliki beban yang sama, yaitu mematahkan dominasi Belanda atas jalur-jalur perdagangan di Selat Malaka. Salah satu contoh adalah sikap mendua pasukan dari Kerajaan Lingga yang diperintahkan menyerang Reteh. Pasukan Kesultanan Riau-Lingga yang tergabung dengan pasukan Belanda melakukan penyerangan ke Reteh tidak dengan sepenuh hati, sehingga Belanda terpaksa meminta tambahan pasukan untuk mengganti posisi orang-orang Melayu tersebut (Abrus,1998: 57).
Penempatan benteng-benteng pertahanan di beberapa kerajaan pada masa itu sedikit banyak untuk kepentingan Belanda. Peralatan perang yang didatangkan dari Belanda merupakan salah satu petunjuk bahwa pembelian persenjataan untuk pertahanan keamanan dengan sepengetahuan dan dikontrol oleh Belanda. Sedangkan salah satu bentuk pengawasan terhadap penggunaannya dilakukan dengan menempatkan sepasukan kecil di Pulau tersebut.
Pada masa pemerintahan Sultan Said Mudoyatsyah harus membayar mahal kemenangannya berperang dengan Raja Muda Jumahat yang dibantu Belanda dengan menanda tangani kontrak politik yang dikenal dengan Traktaat Van Vrede en Vriendshap salah satu isinya adalah mengakui hak Pemerintah Hindia Belanda untuk mendirikan benteng-benteng di Indragiri guna melindungi pelayaran, perdagangan, dan pencegahan perampokan laut (Abrus, 1998:36–54).
Berdasarkan beberapa hal, seperti tersebut di atas, penempatan bangunan-bangunan pertahanan merupakan sebuah sistem pertahanan yang digunakan Belanda untuk membatasi gerak seorang penguasa (sultan). Bangunan pertahanan digunakan untuk mengurung sultan di dalam kota kerajaannya. Penggunaan meriam ataupun peralatan-peralatan perang diawasi oleh Belanda. Salah satu isi perjanjian yang ditanda tangani oleh Sultan Mahmud Muzafar Syah tanggal 10 Juni 1837 adalah: Belanda akan menempatkan suatu pasukan kecil di Lingga (Abrus,1998:54). Pengaturan seperti itu adalah untuk kepentingan keamanan pemerintahan Belanda. Wujud dominasi ini diketahui dari beberapa keputusan Belanda untuk mencopot beberapa sultan yang dianggap membangkang.
7. Masa Pembangunan Benteng Pertahanan Kerajaan Lingga
Menilik bentuk, bahan, dan pola hias meriam yang terdapat di benteng Bukit Cening dengan yang ada di Pulau Mepar menunjukkan bahwa meriam-meriam yang terdapat di Pulau Lingga memiliki kualitas yang lebih baik dibandingkan dengan yang terdapat di Pulau Mepar. Meriam yang terdapat di Lingga menggunakan bahan yang lebih baik dan memiliki tanda-tanda khusus yang menunjukan bahwa meriam tersebut didatangkan dari Belanda, diketahui dari beberapa pertulisan seperti VOC, HB, X, O dan lain-lain. Sebaliknya pada meriam yang terdapat di Pulau Mepar berbahan kurang baik dan tidak terdapat pertulisan ataupun tanda-tanda lain. Kualitas bahan yang kurang baik mengakibatkan salah satu meriam yang terdapat di Pulau Mepar pecah pada bagian ujungnya akibat panas karena terlalu sering digunakan. Bila dibandingkan dengan yang terdapat di Bukit Cening, meriam di Pulau Mepar lebih kasar, kemungkinan meriam tersebut buatan lokal atau didatangkan dari daerah yang belum maju teknologi pembuatannya.
Menilik angka tahun yang terdapat pada meriam yang terdapat di Bukit Cening kemungkinan meriam itu lebih tua dibandingkan dengan yang ada di Mepar. Pertulisan angka tahun 1783 dan 1797 sejaman dengan pindahnya pusat kota Kerajaan Melayu-Riau ke Lingga. Sedangkan informasi mengenai keberadaan meriam di Pulau Mepar adalah saat diangkutnya perlengkapan perang Kesultanan Melayu dari Pulau Mepar ke Reteh pada tahun 1858, diantara peralatan perang itu adalah meriam-meriam (Abrus,1998:56). Mungkin pada waktu itu meriam-meriam tersebut dalam kondisi baru, sekitar 40–70 tahun lebih baru dibandingkan meriam-meriam VOC.  
Apabila dilihat dari kondisi, bahan maupun pola hias meriam yang terdapat di Bukit Cening, Pabean, serta beberapa yang ditemukan tercecer di Pulau Lingga sebagian besar memiliki persamaan. Dengan demikian kemungkinan masa pembangunan benteng Bukit Cening, Pabean, dan Kuala Daik sejaman. Sedangkan apabila dibandingkan dengan meriam yang terdapat di Pulau Mepar, kemungkinan masa pembangunannya lebih belakangan, tidak berselang jauh dengan penggunaan meriamnya pada saat pertama digunakan.        
8. Kesimpulan
Kerajaan Riau-Lingga merupakan sebuah kerajaan yang dilengkapi dengan sistem pertahanan keamanan, untuk menjaga akses masuk ke kerajaan. Sistem pertahanan keamanan tersebut bertumpu pada keberadaan pos-pos pertahanan yang berupa bangunan-bangunan tanah yang terdapat di Mepar, Bukit Cening, Kuala Daik, dan yang terdapat di Pabean. Benteng-benteng tersebut tersusun secara sistematis sesuai dengan arah perjalanan sebuah kapal untuk mencapai pusat kota kerajaan. Tetapi kuatnya dominasi Belanda atas para sultan mengindikasikan lain. Benteng-benteng tersebut oleh Belanda digunakan untuk “mengurung “ para sultan agar tetap berada di kerajaannya. Penempatan sepasukan kecil tentara Belanda merupakan salah satu bukti bahwa penggunaan benteng-benteng pertahanan berada dibawah pengawasan dan digunakan sepenuhnya untuk kepentingan Belanda.  
Berdasarkan analisis bahan, didukung dengan data sejarah meriam yang terdapat di Pulau Lingga dan dibandingkan dengan yang terdapat di Pulau Mepar terdapat indikasi bahwa meriam-meriam di Pulau Lingga memiliki persamaan. Meriam-meriam tersebut kemungkinan berasal dari Belanda, sedangkan yang terdapat di Mepar kemungkinan buatan lokal atau daerah yang memiliki teknik pembuatan kurang maju.     
Kepustakaan
Abrus, Drs.H. Rustam, dkk, 1998. Sejarah Perjuangan Panglima Besar Reteh, Tengku Sulung melawan Belanda Tahun 1858. Pekanbaru: Unri Press
Gaffnesia, Dahsyat, 1999. Masa Berakhirnya Kerajaan Riau Lingga, dalam Pola Penguasaan dan Pemilikan Tanah di Riau Kepulauan 1960—1977. Tanjung Pinang: Jarahnitra, hal. 89—129
Geldern, Robert Heine, 1982. Konsepsi Tentang Negara Kedudukan Raja di Asia Tenggara (diterjemahkan oleh Deliar Noer). Jakarta: Rajawali Press
Groeneveldt, WP, 1960. Historical Notes on Indonesia and Malaya. Compiled from Chinese Source. Djakarta: Bhratara
Kecamatan Lingga Dalam Angka, 1966. Tanjung Pinang: Biro Pusat Statistik
Koestoro, Lucas P. dkk,2001. Penelitian Arkeologi Di Pulau Lingga, Kabupaten Kepulauan Riau, Provinsi Riau, dalam Berita Penelitian Arkeologi No. 5. Medan : Balai Arkeologi Medan
Monografi Daerah Riau, 1980. Jakarta: Proyek Pengembangan Media Kebudayaan  Departemen Pendidikan RI
Nurhajarini, Dwi Ratna, 1999. Sejarah Kerajaan Tradisional Surakarta. Jakarta: Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan RI
Rencana Kota Daik Ibukota Kecamatan Lingga, 1991/1992-2010/2011 dalam Analisis Pemerintah Daerah Tk. II Kep. Riau. Tanjung Pinang: Pemerintah Daerah Tk.II Kep. Riau
Riyanto, Sugeng, 1994/1995. Morfologi Meriam Kuno, dalam Amerta No. 15 Jakarta: Puslitarkenas, hal.26—35
Syam, H. Azhar dan Sindhu Galba, 1997. Daik Selayang Pandang. Tanjung Pinang: Dinas Pariwisata Tk. II Kep. Riau dan Jarahnitra
Winoto, Gatot, 1993. Mengenal Benda dan Bangunan Bersejarah Peninggalan Kesultanan Riau Lingga di Daik, dalam Buletin Jarahnitra No. 4. Tanjung Pinang: Jarahnitra, hal.1—7