Search

Kamis, 26 Agustus 2010

Kerajaan Riau Lingga

BENDERA LELUHUR YG TERLUPAKAN


BENDERA MERAH BERLAMBANG BULAN DAN BINTANG DULU PERNAH BERJAYA DI NEGERI MELAYU..BENAR - BENAR
MENJADI SIMBOL SEBUAH NEGARA,DI HORMATI,DISEGANI.BAHKAN MENJADI BENDA KERAMAT.TAK TERDENGAR NAFAS KORUPSI..TAK ADA YANG BERSEMBUYI DI BALIKNYA HANYA UNTUK MENCARI KEKAYAN..JUGA TAK DIJADI KAN ALAT UNTUK MEMPERKAYA DIRI..SEANDAI NYA KITA BISA MENIRU KEHIDUPAN JAMAN DIMANA BENDERA INI YANG KITA HORMATI..MUNGKIN KITA BISA SETIDAKNYA TIDAK SEHINA INI..SADARKAH MEREKA TANPA ADANYA BENDERA INI TAK ADA SEBUAH NEGERI UNTUK LUAR NEGERI INI..TAK SEDIKIT ANAK NEGERI YANG DULU BERBUAT UNTUK ANAK NEGERI ...KAMI ANAK NEGERI YANG DULU PUNYA SEPETI UPETI UNTUK NEGERI MALAH DIANGGAP JADI DURI....SUNGGUH TAK KENAL BUDI...

Senin, 16 Agustus 2010

SEJARAH MELAYU

403
 
BATAM - Wali Kota (Wako) Batam, Ahmad Dahlan berziarah ke Pulau Penyengat, Tanjung Pinang pada Jumat (14/5). Dalam kesempatan itu, Wako bersama rombongan menunaikan Shalat Jumat di Masjid Raya Sultan Riau. Wako juga diminta oleh tokoh masyarakat setempat untuk menjadi khatib dan memberi khutbah pada kesempatan itu. Usai menunaikan Shalat Jumat, Wako mengatakan tujuannya ke Pulau Penyengat tersebut dalam rangka wisata religi dan berziarah untuk menggali sejarah melayu. Secara pribadi, Wako sangat berminat terhadap sejarah melayu yang ada di Kepulauan Riau. Terlebih tidak banyak orang yang menggali sejarah melayu. Padahal jika diurai, sejarah melayu sangat panjang. Kepada wartawan, Wako mengatakan bahwa Batam merupakan bagian dari melayu yang mendapat kewenangan otonomi daerah.

Bercerita tentang sejarah Pulau Penyengat, Wako menyebut dahulu Pulau ini bernama Pulau Penyengat Indera Sakti. Pada tahun 1803 Pulau Penyengat telah dibina dari sebuah pusat pertahanan menjadi negeri dan kemudian berkedudukan Yang Dipertuan Muda Kerajaan Riau-Lingga. Sementara Sultan berkediaman resmi di Daik Lingga. Baru kemudian pada tahun 1900 Sultan Riau Lingga ke Pulau Penyengat. Sejak itu lengkaplah peranan Pulau Penyengat sebagai pusat pemerintahan, adat istiadat, agama Islam dan Kebudayaan Melayu. Di pulau yang terletak di sebelah Barat Kota Tanjung Pinang ini, banyak tempat-tempat yang bisa dikunjungi. Diantaranya, bekas gedung Engku Haji Daud Tabib Kerajaan, Makam Engku Puteri Permaisuri Sultan Mahmud, Makam Raja Ali Haji Marhum Teluk Ketapang, bekas Istana Sultan Abdul Rahman Muazam Sah, bekas Gedung Tengku Bilik, Makam Marhum Jaafar, bekas Istana Raja Haji Ali Marhum Kantor, Makam Marhum Kampung Bulang, Gudang Mesiu dan 12 Kubu (Benteng dan Parit-parit Pertahanan).

“Di Batam kita kenal dengan sejarah Nong Isa yang memulai masa pemerintahannya sejak tahun 1829 yang kita kenal dengan Nongsa. Peninggalannya ada di Nongsa demikian dengan zuriyatnya,” cerita Wako yang berkunjung bersama istrinya, Mariana Dahlan.

Melihat kondisi Pulau Penyengat saat ini, Wako menilai masih banyak yang harus dikembangkan. Dulu, ketika ia masih menjabat sebagai Kepala Dinas Pariwisata Provinsi, pernah dilakukan renovasi terhadap sejumlah bangunan di sana. Katanya, renovasi itu perlu dilakukan untuk pengembangan Pulau Penyengat namun tidak merubah bentuk. Bicara mengenai anggaran untuk pengembangan pulau tersebut, bisa menggunakan anggaran dari Pemko Tanjung Pinang. Mengingat Pulau Penyengat berada di Kota Tanjung Pinang. Namun alangkah lebih baiknya jika dianggarkan melalui Pemprov Kepri. Bahkan jika perlu untuk pengembangan pulau itu bisa dengan memungut pada pintu masuk pulau. Menurutnya masyarakat bisa memungut terhadap setiap pengunjung yang datang. Dan diyakini pengunjung tidak akan keberatan asalkan peruntukkannya jelas.

“Walau pun tapak, asal pandai mengemasnya akan terlihat menarik,” katanya.

Sejalan dengan Visit Batam 2010, maka pada tahun 2015 mendatang Batam akan menjadi gate way Indonesia. Setiap mereka yang berkunjung ke Tanjung Pinang atau daerah di Provinsi Kepri lainnya akan masuk melewati Batam. Dalam khutbah Jumatnya, Wako menyinggung soal pendidikan. Di era globalisasi ini ilmu pengetahuan diatas segala-galanya. Peninggalan dari keturunan-keturunan menurutnya tidak cukup untuk dibagikan kepada anak cucu kita. Bahkan untuk memberikan pendidikan kepada anak-anak kita, pemerintah telah membangun sekolah baik negeri maupun swasta. Melalui shalat Jumat tersebut, Wako mengajak agar orang tua memberikan pendidikan kepada anak-anaknya.

Turut serta mendampingi Wako dalam kegiatan wisata religi tersebut, Kepala Dinas Kebersihan dan Pertamanan (DKP), Azwan, Asisten Ekonomi Pembangunan, Syamsul Bahrum, Kabag Tata Pemerintahan, Heriman HK, Kabag Aset dan Perlengkapan, Raja Kamaruzaman, Kabag Protokol, Aspawi Nangali dan Kepala Kantor Satuan Pamong Praja, Zulhelmi.

Kamis, 05 Agustus 2010

SEJARAH MELAYU RIAU

Kerajaan Melayu Riau, Bagian dari Sejarah Indonesia Atau Malaysia?
Pengakuan bahwa bahasa Melayu yang menjadi teras bahasa Indonesia adalah bahasa Melayu Riau, secara implisit berarti juga pengakuan tentang adanya satu pusat kekuasaan yang telah memberi ruang dan kesempatan bahasa dan sastra Melayu itu tumbuh dan berkembang sehingga menjadi aspek budaya yang tinggi nilainya. Itu berarti tak lain kesultanan Melayu Riau lah yang menjadi pusat kekuasaan dan pendorong pertumbuhan budaya tersebut.

Bagi masyarakat Melayu, di Riau terutama pengakuan itu tampaknya sangat penting dan melibatkan emosi. Sebab bagaimanapun selama ini, sekalipun bahasa Melayu diakui telah memberikan sumbangan yang tidak ternilai harganya terhadap pengembangan kebudayaan nasional, namun induk yang  membesarkannya hampir tak mendapat tempat yang wajar. Contohnya tak begitu sulit untuk dicari, dan orang cukup melihat buku sejarah nasional Indonesia (Nugroho Notosusanto, Dkk, 1975) yang dianggap sebagai buku babon (standar) bagi penulis sejarah Indonesia. Disitu peranan dan kedudukan Kerajaan Melayu Riau nyaris tak pernah disentuh dan disebut-sebut, bahkan tenggelam dalam kebesaran kekuasaan lain, seperti Aceh.

Lolosnya kerajaan Melayu Riau dari catatan sejarah Nasional itu, kemudian tentu saja menurun ke buku-buku pelajaran sekolah-sekolah yang bersumber dari buku babon tersebut. Di SMPT, atau SMAT misalnya, buku pelajaran sejarah Nasional tak sempat menyebut-nyebut Kerajaan Melayu itu. Apalagi buku pelajaran IPS di sekolah dasar, kecuali yang dipakai di Riau. Mengapa hal demikian bisa terjadi? Apakah sejarah kebudayaan Melayu Riau yang jatuh bangun selama 189 tahun (1722-1911) bukan merupakan bagian sejarah nasional Indonesia, tetapi menjadi bagian sejarah Johor  (Malaysia)? Itulah antara lain pertanyaan-pertanyaan menarik yang sudah bergaung jauh sebelum Seminar Nasional Kebudayaa Melayu  itu berlangsung.

Sayang selama seminar empat hari itu, pernyataan-pernyataan tersebut hampir tak terjawab. Dan ini pun bisa dimaklumi, terutama karena seminar itu bukanlah seminar tentang sejarah, tetapi tentang budaya yang merangkut berbagai hal secara umum. Sehingga, sekalipun dalam kelompok seminar ada kelompok aspek sejarah, tetapi permasalahan yang dibicarakan sangat beragam dan tidak merupakan suatu pembicaraan khusus tentang sejarah politik dan kekuasaan kerajaan-kerajaan yang pernah ada dan memainkan peranannya di kawasan ini. Apalagi cakupan Melayu dalam pengertian seminar tersebut, bukanlah semata-mata terpacu pada Riau, tetapi sedaya upaya ingin merangkum semua kawasan di Indonesia yang merupakan pendukung dari kebudayaan ini.

Pusat Bajak Laut
Dari sebelas makalah tentang aspek sejarah yang diperbincangkan, hanya empat makalah yang secara langsung menyinggung tentang sejarah politik dan kekuasaan kerajaan Melayu di semenanjung, terutama berkaitan dengan Kerajaan Melayu Riau. Salah satu yang cukup mengelitik adalah makalah Dr Onghokham, (UI-Jakarta) yang berjudul “Pemikiran Tentang Sejarah Riau”, sebuah makalah yang tebalnya hanya sembilan halaman.

Dr Onghokham, seperti kebanyakan sejarahwan dari luar Riau, memang masih belum bersedia untuk penegaskan mana yang dimaksud dengan kerajaan Riau itu. Akibatnya selain acuan ruangan dan waktu menjadi sering tidak jelas, juga pengistilahan yang persis tentang kesultanan. Riau itu pun sering berganti-ganti. Kadang-kadang dipakai istilah Kesultanan Riau, kadang-kadang kerajaan Bintan. Kekaburan itu, sama juga dengan penegasan ahli sejarah itu tentang jejak paling jelas dari kesultanan Riau yang dikatakan abad ke-15, berarti hampir bersamaan dengan masa keemasan kerajaan Melayu Malaka (1400-1528). Sedangkan, dalam berbagai penulisan sejarah, terutama oleh sejarahwan Riau dan Malaysia, pengertian Riau itu sendiri baru ada sekitar tahun 1978, ketika Sultan Ibrahim (1677-1685) dari Johor, memindahkan sementara ibukota kerajaannya dari Batu Sawar (Johor) kehulu Riau. Pusat pemerintahan itu kembali ke Johor tahun 1690 pada masa pemerintahan Sultan Mahmudsyah. Bagi kalangan sejarahwan di Riau sekarang ini, Kesultanan Riau baru terwujud tahun 1722, ketika orang-orang Bugis melantik Tengku Sulaiman sebagai Sultan. Bahkan masih ada pendapat lain yang justru mencatat bahwa Kesultanan Riau (yang lebih sering dipakai, Riau-Lingga) baru punya eksitensi politik dan kekuasaan pada saat lahirnya Trakat London (1824), saat wilayah eks Kesultanan Johor dibagi dua. Riau masuk bagian Sultan Riau Lingga dan dibawah pengawasan Belanda dan Singapura dan Johor, menjadi bagian Semenanjung Melaysia di bawah kekuasan Inggris.

Dr Onghokham juga melihat dalam sejarah perkembangannya Kesultanan Riau itu, atau lebih tepat Riau dahulunya itu, dalam percaturan Politik internasional tidak pernah merupakan pusat kekuasaan terpenting atau terbesar. Wilayah itu hanya menjadi pemukiman orang laut dan tempat pelarian raja-raja yang syah, atau dinasti atau wangsa sah sekitarnya digulingkan. Peranan Kesultanan Riau pada tahun-tahun setelah 1511, yaitu sebagai tempat strategis untuk melakukan gerilya laut, seperti untuk menyerang Protugis di Malaka. Sumber-sumber Protugis, menurut Dr Ong, menyebut gerilnya laut yang berpangkat di pulau Bintan itu sebagai bajak laut. Meskipun untuk pengertian ini, Onghokham perlu mengaris bawahi bahwa pada zaman itu, antara perang, politik, perdagangan dan pembajak laut tak banyak bedanya. Aksi Protugis menyerang Malaka 1511 itupun tak lain sama dengan bajak laut. Demikian juga blokade Belanda terhadap Makasar atau Banten abad ke-17.

Tetapi, bagaimanapun, Dr Onghokham membenarkan bahwa dalam soal budaya, Kepulauan Riau tidak kalah dengan sekitarnya. “Dinasti raja-raja Riau mungkin kalah dalam kekuasaan politik dan kalah dalam kekayaan dengan raja-raja sekitarnya. Namun dalam hal budaya mereka tetap unggul”. Begitu kesimpulan Dr Onghokham. Tidak disebutkan faktor apa yang mendorong lahirnya budaya yang unggul itu.

Tampaknya dalam masalah tersebut Dr Onghokham hanya mencoba mengambarkan selintas perkembangan sejarah, di satu kawasan bernama Riau, sebagai salah satu kawasan kerajaan maritim yang dalam pertumbuhannya tenggelam dalam bayang-bayang kebesaran Kesultanan Malaka.

Saham Raja Kecil
Sejarahwan lain yang berbicara dengan acuan yang lebih jelas tentang pengertian Kesultanan Riau itu, adalah Drs Suwardi Ms (UNRI Pekanbaru) dengan makalahnya “Kesultanan Melayu di Riau: Kesatuan dalam Keragaman). Pokok bahasan bukanlah tentang apa dan bagaimana Kesultanan Melayu di Riau itu, melainkan tentang kesatuan dan keragaman pemerintahan dan peranannya dalam menumbuhkan dan mengembangkan nilai-nilai sosial budaya Melayu. Namun, dalam pembicaraan itu pengertian tentang wilayah kesatuaan kekuasaan itu lebih punya batasan dan ruangan serta waktunya.

Suwardi Ms, sejarahwan Riau yang memang sudah cukup banyak mengeluti masalah sejarah yang terjadi dikawasan Riau sekarang ini, memulai pengertian kerajaan-kerajaan Melayu dan berkembang di Riau dari tokoh kontaraversial, Raja Kecil, (Raja Kecik) yang dalam satu perebutan kekuasaan di Kesultanan Johor 1717, berhasil merampas kekuasaan dari tangan Sultan Abdul Jalil Riayatsyah. Raja Kecil, yang dikatakan anak Sultan Johor Mahmudsyah yang mati terbunuh tahun 1699, dan dibesarkan di Minangkabau itu, setelah berhasil merampas tahta kerajaan, kemudian memindahkan kekuasaan itu ke Riau, 1719. Walaupun masa kekuasaan Raja kecil ini di Riau hanya berlangsung empat tahun, namun Suwardi Ms mengganggap Raja kecil sebagi tokoh yang punya andil (saham) besar dalam upaya mewujudkan kembali kesatuan Melayu di Selat Malaka yang dahulu terpecah belah oleh kekuasaan Protugis dan Belanda. Raja kecil yang terusir dari Riau itu, kemudian memilih pusat kekuasaannya yang baru, yaitu Siak,dan kemudian secara bertahap membangun Kesultaanan baru yaitu Kesultanan Siak (1723-1945).

Berdirinya kesultanan Siak, dengan sendirinya mengucapkan pengertian bahwa dikawasan Riau (dalam pengertian geo administrasi sekarang ini) ketika itu, ada dua pusat kekuasaan. Yaitu Riau yang berpusat di Ulu Riau dengan Sultannya Sulaiman Badrul Alamsyah, dan kedua kesultanan Siak dengan penguasanyan Raja kecil. Sekalipun dalam berbagai penulisan, selalu harus ditunjukkan bahwa hulu kedua Kesultanan ini adalah satu, yaitu Kesultanan Johor yang merupakan penerus Malaka. Oleh karenanya banyak juga yang berpendapat bahwa Imperium Melayu di kawasan Semenanjung dan tenggara Asia itu jatuh bangun selama lebih dari lima abad. Dimulai dengan kesultanan Malaka (1400-1528), dilanjutkan Johor (1528-1722), dan ditutup oleh Riau dan Siak yang berakhir tahun 1945. Bahkan mungkin lebih jika dikaitkan dengan munculnya Kesultanan Pahang yang dahulu menurunkan bagian dari wilayah Riau, dan Johor yang kemudian bangkit kembali sesudah Trakat London, 1824.

Namun demikian, dalam kaitan yang lebih khusus, apa yang disebut sebagai Kesultanan Riau itu, adalah eks Kesultanan Johor. Kalau sebelum terjadi perebutan kekuasaan antara keturunan Sultan Malaka dan keturunan Bendahara Tun Habib, Kesultanan Johor itu disebut sebagai Johor, Pahang dan Riau, sesudah perbelahan itu sebutannya menjadi Riau, Johor dan Pahang. Itu bermula dari tahun 1722 saat Sultan Sulaiman dilantik dan menjadikan Riau (dalam hal ini Riau dalam pengertian ibukota dan bukan wilayah) sebagai pusat kekuasaannya. Sementara Johor dan Pahang, keduanya dijadikan daerah pegangan yang masing-masing dikuasai oleh dua Petinggi kerajaan. Johor dibawah seorang Temenggung, dan Pahang  dibawah Bendahara. Tahun 1824, wilayah kekuasaan Riau ini tinggal lagi gugusan pulau Bintan, Lingga, Batam, dan Pulau Tujuh (Natuna). Sedangkan Johor dan Pahang serta Singapura masuk wilayah semenanjung dan berdiri sendiri.

Dipandang dari segi kekuasaan dan kedaulatan sebagai sebuah kerajaan yang merdeka dan berdulat, sebenarnya Kesultanan Riau itu hanya berlangsung tak lebih dari 62 tahun (1722-1784). Sebab, dengan berakhirnya perang Riau (1782-1784) dimana Riau dikalahkan oleh Belanda, maka sejak saat itu Riau sudah sepenuhnya berada dibawah kekuasaan VOC. Dalam perjanjian di atas kapal perang VOC “Utrech”, antara lain disebut bahwa Riau mengakui Belanda sebagai penguasa tertinggi, dan pengantian para Sultan dan Wakil Sultan Harus dengan seizin VOC. Riau ketika itu meskipun punya sultan dan perangkat pemerintahan, toh tak lebih dari sebuah koloni yang dalam pengertian kesombongan VOC disebut sebagai daerah “Anugerah sang ratu dan sebagai pinjaman”. Ketika terjadi peralihan kekuasaan antara Belanda dan Inggris akibat perang Eropa 1795, Riau sempat sekejap menjadi negeri merdeka. Ketika Inggris mengambil alih semua kekuasaan Belanda seperti Malaka, dan negeri-negeri lain di Semenanjung Malaysia, Riau, oleh Inggris dinyatakan bebas dan berarti sendiri. Tetapi akibat berbagi kelemahan pemerintahan ketika itu, Riau kembali jatuh ke dalam kencaman Belanda, 1815, ketika seluruh jajahan Belanda yang diambil alih Inggris dikembalikan.

Tenggelam
Jejak-jejak sejarah yang gelap dan saling berbaur itulah yang kemudian membuat Kesultanan Riau yang secara jelas adanya selama 189 tahun itu, seperti terlepas dari catatan sejarah. Ia seakan tenggelam dalam raupan tentang kebesaran sejarah Johor yang dianggap berlangsung dari 1528 sampai dengan tahun 1824, dan tenggelam dalam pengertian sebuah koloni jajahan Belanda (1824-1913), sebelum akhirnya dihapuskan sama sekali dari daftar administrasi pemerintah kolonial Belanda di Indonesia sebagai daerah kerajaan. Ia hanya menjadi sebuah karesidenan yang kemudian menjadi teras daerah kekuasaan propinsi Riau.

Jejak-jejak sejarah yang tenggelam dalam belukar dan kemudian terus terlupakan itu, bukan cuma diterima oleh Kesultanan Riau, juga Kesultanan Siak. Dalam buku-buku sejarah nasional yang dipelajari di sekolah-sekolah tampaknyaber lawan Sultan Siak terhadap VOC di Guntung dan berhasil membantai habis satu datasemen tentara VOC, tak cukup kuat untuk dicatat. Juga dengan perang Riau 1782-1784 yang menewaskan ribuan- tentara VOC dan menenggelamkan sebuah kapal perang komando VOC “Malaka Walvaren” bersama 300 pasukannya. Padahal dalam berbagai penulisan sejarah asing, seperti buku “Jan Kompeni” (C.R. Boxer, SH-1983) perang tersebut ikut dicatat.

Anti Bugis
Usaha untuk merambas belukar sejarah kerajaan-kerajaan Melayu di Riau itu, bukan tak ada. Di Riau sendiri tahun 1975 sudah ada satu seminar sejarah Riau, yang kemudian tahun 1977 diikuti dengan terbitnya buku “Sejarah Riau” (Mukhtar Luthfi, dkk 1977). Tetapi buku sejarah itu ditangguhkan pengedarannya karena ada bagian isinya yang masih jadi sengketa. Sejak awal buku itu sudak dikencam sebagai kurang obyektif dan banyak mengelapkan fakta sejarah. Dalam pembicaraan tentang Kesultanan Riau misalnya, buku itu dikencam sebagai terlalu “Siak Sentris” dan terlalu “Anti Bugis”.

Peranan yang jernih dari bangsawan dan pengusaha Melayu keturunan Bulgis, disulap demikian rupa dan tenggelam oleh berbagi figur keturunan Melayu asli yang sebenarnya tidak begitu amat menonjol. Upaya untuk mengangkat figur Raja Kecik sebagi tokoh utama pemersatu kekuatan dan kekuasaan orang Melayu setelah Malaka runtuh dan Johor tumbang, membuat penulis sejarah tersebut jadi berat sebelah.

Kepincangan dalam penulisan itu, tampaknya ada kaitan dengan upaya melawan berbagai penulisan sejarah yang sudah ada, terutama hasil kerja para penulis dari Kesultanan Riau sendiri, seperti Raja Ali Hajji dengan Tuhfat Annavis, juga terhadap silsilah Melayu Bugis, yang dianggap terlalu “Bugis sentris” pula dan mengenyampingkan sama sekali hasil kecermelangan beberapa tokoh keturunan Melayu, serta serta menyudutkan figur Raja Kecik sebagai “Si Pembuat Onar”

Sayang pertemuan ilmiah yang sudah memilih aspek sejarah sebagai salah satu masalah yang jadi bahasan, tidak sempat menampilkan penulisan tentang sejarah kesultanan-kesultanan Melayu di Riau dan jernih, sehingga belukar sejarah yang sudah semak samun itu menjadi agak lebih terang. Ada beberapa makalah lain, seperti sejarah Kesultanan Melayu di Sumatera Timur (Tengku Lukman Sinar SH, Medan), tetapi amat sedikit menyentuh tentang Kesultanan Riau yang dianggap sebagai sumber pembentukan bahasa Melayu tinggi itu

Minggu, 01 Agustus 2010

Sejarah Kerajan Riau Lingga


Kesultanan Riau-Lingga adalah kerajaan Islam yang berpusat Kepulauan Lingga yang merupakan pecahan dari Kesultanan Johor. Kesultanan ini dibentuk berdasarkan perjanjian antara Britania Rayadan Belanda pada tahun 1824 dengan Sultan Abdul Rahman Muadzam Syah sebagai sultan pertamanya. Kesultanan ini dihapuskan oleh pemerintah kolonial Belanda pada 3 Februari 1911.
Wilayah Kesultanan Riau-Lingga mencakup provinsi Kepulauan Riau modern, tapi tidak termasuk provinsi Riau yang didominasi oleh Kesultanan Siak, yang sebelumnya sudah memisahkan diri dari Johor-Riau.
Kesultanan ini memiliki peran penting dalam perkembangan bahasa Melayu hingga menjadi bentuknya sekarang sebagai bahasa Indonesia. Pada masa kesultanan ini bahasa Melayu menjadi bahasa standar yang sejajar dengan bahasa-bahasa besar lain di dunia, yang kaya dengan susastra dan memiliki kamus ekabahasa. Tokoh besar di belakang perkembangan pesat bahasa Melayu ini adalah Raja Ali Haji, seorang pujangga dan sejarawan keturunan Melayu-Bugis.

Sejarah

Riau-Lingga pada awalnya merupakan bagian dari Kesultanan Malaka, dan kemudian Kesultanan Johor-Riau. Pada 1811 Sultan Mahmud Syah III mangkat. Ketika itu, putra tertua, Tengku Hussain sedang melangsungkan pernikahan di Pahang. Menurut adat Istana, seseorang pangeran raja hanya bisa menjadi Sultan sekiranya dia berada di samping Sultan ketika mangkat. Dalam sengketa yang timbulBritania mendukung putra tertua, Husain, sedangkan Belanda mendukung adik tirinya, Abdul Rahman. Traktat London pada 1824 membagi Kesultanan Johor menjadi dua: Johor berada di bawah pengaruh Britania sedangkan Riau-Lingga berada di dalam pengaruh Belanda. Abdul Rahman ditabalkan menjadi raja Riau-Lingga dengan gelar Sultan Abdul Rahman Muadzam Syah, dan berkedudukan di Kepulauan Lingga.
Sultan Hussain yang didukung Britania pada awalnya beribukota di Singapura, namun kemudian anaknya Sultan Ali menyerahkan kekuasaan kepada Tumenggung Johor, yang kemudian mendirikan kesultanan Johor modern.
Pada tanggal 7 Oktober 1857 pemerintah Hindia-Belanda memakzulkan Sultan Mahmud IV dari tahtanya. Pada saat itu Sultan sedang berada di Singapura. Sebagai penggantinya diangkat pamannya, yang menjadi raja dengan gelar Sultan Sulaiman II Badarul Alam Syah. Jabatan raja muda (Yang Dipertuan Muda) yang biasanya dipegang oleh bangsawan keturunan Bugis disatukan dengan jabatan raja oleh Sultan Abdul Rahman II Muadzam Syah pada 1899. Karena tidak ingin menandatangani kontrak yang membatasi kekuasaannya Sultan Abdul Rahman II meninggalkan Pulau Penyengat dan hijrah ke Singapura. Pemerintah Hindia Belanda memakzulkan Sultan Abdul Rahman II in absentia 3 Februari 1911, dan resmi memerintah langsung pada tahun 1913.

[sunting] Daftar sultan

Sultan Riau-Lingga
#NamaMasa pemerintahan
1Sultan Abdul Rahman Muadzam Syah18181832
2Sultan Muhammad II Muadzam Syah18321835
3Sultan Mahmud IV Mudzafar Syah18351857
4Sultan Sulaiman II Badarul Alam Syah18571883
5Sultan Abdul Rahman II Muadzam Syah18851911